Cinta Kandang Kebo



Kata cinta, bagi Abdi bukanlah hal biasa, bukan sekedar mengatakan, aku cinta padamu. Bukan sekedar berkata, maukah kau menikah denganku? Kata cinta baginya adalah tanggung jawab yang besar, cinta baginya adalah kata maaf. Maaf jika aku tak sempurna membahagiakanmu, maaf jika aku tak seperti yang kau bayangkan, maaf dan maaf karena setiap hubungan pasti banyak ketidaksempurnaan. Itulah kenapa, rasa cintanya pada gadis berjilbab biru, yang sering melewati rumahnya tak tersampaikan. Dia takut jika senyum bidadari itu hilang, jika dia hidup bersamanya, hidup dengan penjual tape keliling.
“Le, kapan kamu mau nikah? Ibumu ini sudah tua.” Pertanyaan itu sungguh membuat telinga Abdi gerah. Sehari itu, sang Ibu sudah tanya delapan kali. Aneh, hari itu, Ngatini, Ibunya mendesak Abdi agar segera menikah.
“Ibu ampun khawatir, Abdi pasti nikah,” ujar Abdi sambil menata tape yang akan dia jual hari itu.
“Iya, tapi kapan? Nanti siapa yang ngurus kamu kalo Ibu nggak ada.”
“Ibu jangan bilang seperti itu, Ibu masih sehat” Abdi mencium punggung tangan Ibunya. Dengan memakai topi, Abdi bersiap keliling menjual tape.
“Umur orang sapa yang ngerti Le.” Abdi mendengar ucapan Ibunya. Dia sadar betul, umurnya sudah menginjak kepala tiga, sudah dua kali dia dilangkahi adik perempuannya.
Abdi keliling kampung menjajakan dagangan, seharian baru ada lima pembeli. Peluh di lehernya semakin deras mengalir, terik panas benar sedang mengujinya.
“Mas Abdi.” Panggilan lembut dari bidadari yang sering dinantinya membuat langkah pria tinggi tegap itu berhenti.
“Tanti?” Gadis itu menghampiri Abdi, menyerahkan sebuah buku bersampul hijau.
“Makasih bukunya.” Abdi menerima buku itu dan mengangguk.
“Mas Abdi pekerja keras ya? Sudah punya pegawai banyak, tetep aja turun tangan sendiri, ini namanya atasan yang rendah hati.” Yang dipuji tersenyum. Andai Tanti tahu, alasan Abdi tetap jualan sendiri adalah dia. Abdi nggak hanya pengen liat Tanti saat melewati rumahnya saja. Kesempatan satu-satunya adalah tetap berjualan tape keliling, dengan begitu dia akan sering lewat tempat kerja Tanti dan menyapa gadis itu.
“Mas, sekalian aku mau memberi ini.” Tanti menyodorkan sebuah undangan berwarna pink. Disana tertulis nama Tanti dan Seno, sahabatnya. Abdi berusaha menguasai diri, Tanti dan Seno akan menikah. Abdi benar-benar limbung, sendi-sendinya seolah terlepas, penyesalan masuk ke hatinya. Dia menyesal kenapa dia tak segera menyatakan cintanya, dia baru sadar, cinta harus diungkapkan bukan dipendam.
Seno adalah sahabatnya, sama-sama menjadi penjual tape. Bedanya adalah, Abdi bisa sukses menjadi pengusaha tape. Tapi Seno masih menjadi penjual tape keliling, menjadi pegawai Abdi. Masalah hati Seno lah yang menang dan berhasil menghancurkan hati Abdi. Tak seharusnya Abdi menyalahkan Seno, dia nggak boleh menyalahkan orang yang berani menyatakan cintanya.
“Mas Abdi, Pak Wito pesan satu kranjang tape lagi buat besok.” Ayu membuat Abdi tersentak dari lamunan. Gadis manis berjilbab itu cengingisan melihat sang bos celingukan. Di pabrik tape itu, hanya Ayu yang berani menggoda Abdi, pria itupun hanya bisa tersenyum jika sedang digoda.
“Mas Abdi ni sukanya mikirin istri orang,” celetuk Ayu, yang disindir hanya garuk-garuk kepala dan beranjak pergi. Abdi sadar, jika Ayu dilayani akan panjang jadinya dan ujung-ujungnya dia kalah. Selama ini gadis itu sudah menjadi tempat sampahnya, meski resiko yang dia tanggung gede.
“Abdi kapan nikah, Ibu sudah pengen gendong anakmu.” Ayu meniru logat Ngatini, wanita tua itu menggelengkan kepala menyaksikan tingkah pegawai anaknya. Jika Abdi mau melihat sekeliling, sebenarnya Ayu punya perasaan lain padanya.
Ayu berjalan dibelakang Abdi, hari itu Abdi sedang mengecek kebutuhan pabrik. Ayu mencatat setiap kebutuhan yang keluar dari mulut pria itu. Sesekali Ayu protes, karna Abdi bicara terlalu cepat.
“Mas ada yang kurang.” Abdi bingung, dia merasa sudah menyebutkan bahan-bahan yang sudah habis dan harus dibeli.
“Apa?”
“Istri buat Mas Abdi,” mendengarnya Abdi melotot, Ayu cengingisan. Mereka meninggalkan gudang berjalan menuju rumah Abdi yang tak jauh dari situ. Ayu berjalan mendahului Abdi. Melihat tingkah Ayu yang hiperaktif, Abdi menjadi gemas, apalagi jika mengingat segala godaan yang dia suguhkan. Terlintas pikiran nakal di kepala pria itu, bagaimana jika dia menikahi Ayu? Toh nggak ada masalah, Ayu juga sudah saatnya menikah, Ibunya sangat menyukai gadis itu dan jika dilihat-lihat Ayu manis dan sholehah.
“Ayu.” Gadis itu berhenti dan membalikkan badan,Abdi mendekatinya.
“Menikahlah denganku,” pinta Abdi. Ayu shock mendengarnya, wajahnya berubah. Dia hampr pingsan mendengar pernyataan Abdi.
“Mas Abdi nggak romantis ah, masak nglamar didekat kandang kebo.” Ayu berlari pergi sedang Abdi menengok ke kiri. Dia tersenyum aneh, benar juga yang dibilang Ayu, masak ngelamar di dekat kandang kebo, di saksikan sepasang kebo yang asyik makan siang berdua.
Ayu antusias menyiapkan hari pernikahannya dengan Abdi. Meski dia yatim piatu, dia nggak sendirian, Ngatini, calon mertuanya akan siap membantu. Semakin dekat dengan hari pernikahan, Abdi gusar, hatinya bercabang. Dia selalu bertanya, apa yang dia lakukan ini benar? Ayu gadis yang baik, bagaimana dia bisa menyakitinya? Dadanya seakan-akan meledak, dia menahan semua sendirian. Ah, Ayu sangat sempurna sebagai seorang gadis, pastilah mudah jatuh cinta padanya.
“Mas Abdi,” panggil Ayu, mereka berjanji di kebun dekat pabrik malam itu, seminggu sebelum hari pernikahan. Suasana begitu sempurna bagi sepasang kekasih. Rembulan bulat bersinar, bintang menampakan  senyumnya, gemericik air sungai terdengar indah dari kejauhan, jangkrik-jangkrik melengkapi melodi malam dalam romantisnya senandung. Keduanya masih terdiam, dingin mulai menyergap keduanya. Ayu mengehela napas, membuang kepenatan yang ada dipundaknya.
“Mbak Tanti  cerai dengan Mas Seno,” senang, cemas, bingung campur aduk di hati Abdi, dia berusaha sekeras mungkin untuk menutupi kebingungannya.
“Mas Abdi nggak usah bingung, jika ingin membatalkan pernikahan ini belum terlambat.” Abdi memandang Ayu, wajahnya begitu tenang tanpa ekspresi. Bagaimana mungkin dia akan mempermalukan gadis yang berdiri disebelahnya.
“Mas Abdi begitu mencintai Mbak Tanti bukan?” Pria itu tertunduk.
“Nggak papa Mas, karna aku juga sangat mencintai Mas Abdi.” Abdi semakin bimbang, genangan bening dimata Ayu akan segera jatuh, itu membuat Abdi semakin tak tega.
“Aku nggak akan menghalangimu, jangan menikahiku karna kasian Mas.”
“Ay.”
“Mas Abdi harus janji, setelah ini Mas harus sering tertawa.”
“Ay maaf.” Ayu berlari meninggalkan Abdi, airmatanya menganak sungai. Jika Ayu bilang tak sakit hati, bohong. Hatinya sedang terluka, luka yang menganga.
Abdi benar-benar tersiksa dengan hatinya. Cintanya pada Tanti masih belum hilang, malah kini tumbuh kembali. Namun wajah Ayu yang mulai muram membuatnya tak karuan. Apakah dia tega menyakiti Ayu yang cinta mati padanya? Dia tahu persis rasanya, karna dia pernah mengalami, tapi bagaimana dengan cintanya pada Tanti?
“Temui gadis-gadis itu, rasakan sakit mereka,” perkataan sang Ibu tak dapat dia mengerti.
“Kamu nggak boleh sembunyi, temui mereka.” Abdi mengikuti saran Ngatini. Setelah membersihkan diri, dia berjalan ke rumah Tanti yang berjarak beberapa meter. Gadis itu sedang memetik buah rambutan yang tumbuh di halaman rumahnya ketika Abdi sampai. Tanti menyambut dengan senang kedatangan Abdi. Mereka ngobrol banyak, tak ada yang berubah dari Tanti. Tak ada raut sedih diwajahnya, bahkan dia terlihat bahagia. Bayangan Ayu tiba-tiba muncul, Abdi berusaha menepisnya namun gagal. Sampai dia berpamitan pada Tanti, wajah Ayu menjadi lintasan di pelupuk matanya.
“Seandainya Mas Abdi masih sendiri, pasti aku akan mengejar cinta Mas Abdi,” ucapan Tanti seharusnya membuat hati Abdi senang karna cintanya berbalas, namun sekarang bukan itu yang dipikirkannya, dia ingin segera menemui Ayu.
Langkahnya semakin dipercepat, pria itu tak sabar ingin menemui Ayu. Hatinya begitu sakit membayangkan tangis Ayu malam itu. Dihatinya juga terbesit rindu untuk gadis manis tersebut. Tanpa Abdi sadari, dia mulai mengingat hari-harinya bersama Ayu. Dia baru sadar jika selama ini Ayu yang selalu ada disampingnya, selalu mendengar keluhnya, selalu menggodanya bahkan gadis itulah yang menjadi tempat Abdi menumpahkan kekesalan saat Tanti menikah.
Langkah Abdi berhenti saat dari kejauhan Ayu terlihat berjalan kearahnya. Abdi tersenyum pada gadis itu, tapi Ayu melewatinya, sepertinya dia nggak sadar jika Abdi ada di hadapannya. Abdi berjalan dibelakangnya. Sakit hati Abdi melihat Ayu muram. Gadis yang ceria itu sedih karna dia, tak ada lagi canda keluar dari bibirnya, tawanya seolah terusir dari hidupnya.
“Ay.” Ayu membalikkan badan. Ada senyum terpaksa dari bibir Ayu.
“Maafkan aku ya?”
“Mas Abdi nggak perlu minta maaf.” Abdi baru sadar jika dia sering mengucapkan maaf pada Ayu akhir-akhir ini. Apa ini yang namanya cinta? Apa baru kali ini Abdi jatuh cinta yang benar-benar cinta?
“Hari ini aku mau ngomong sama Budhe kalo kita nggak jadi nikah.” Ayu nggak tau jika Ngatini sudah tau masalah mereka.
“Nggak, pernikahan ini nggak boleh batal.”
“Tapi Mbak Tanti Mas?”
“Masih saja mikirin gadis lain.” Abdi memetik setangkai bunga yang tumbuh disekitar jalan itu dan memberikannya pada Ayu.
“Kamulah bidadariku saat ini dan dimasa depanku.” Senyum itu kembali dibibir Ayu. Gadis itu tersanjung serasa berada diatas awan.
“Ah…” gerutu Ayu.
“Sebel deh, Mas Abdi selalu menyatakan ditempat yang salah.” Ayu menunjuk kandang kebo yang ada disebelah kanan mereka. Abdi tersenyum dan mengaruk-garuk kepala.

0 komentar:



Posting Komentar

Mohon tinggalkan jejak-jejak cinta anda pada blog ini.
Makasih, Matursuwun!!!!!