Hidup

Reya baru menyadari, apa yang berbahaya didunia ini, bukan narkoba, tapi rasa sepi. Rasa sepi yang begitu dingin, mencekam dan kejam. Rasa sepi yang bisa membuat siapa saja mati setiap saat, kesepian yang bisa merenggut apa saja dalam kehidupan, kesepian yang bisa membuat seseorang melakukan apa saja. Reya terduduk di salah satu bangku taman, dia melihat begitu banyak sekali manusia berlalu lalang dihadapannya, mereka tersenyum, tertawa, saling bergandeng dengan pasangannya, tapi dia, dia terduduk disudut taman. Banyak orang yang sesekali menengoknya, mungkin kasihan, atau sekedar berkata dalam hati, gadis yang malang. Tapi Reya tidak peduli, apapun yang akan mereka katakan, dia tak akan pernah peduli, karna selama ini, dia sudah terlalu banyak mendengar hal-hal yang tidak pernah ingin dia dengar.
Sebentar lagi umurnya 24 tahun, tiba-tiba dia mulai berpikir. Umur yang sudah tidak muda lagi, dia menengok kebelakang, apa saja yang pernah dia perbuat. Hatinya begitu sakit ketika menengok kebelakang. Banyak massa yang dia tak ketahui kemana hilangnya. Dia tak ingat bagaimana masa kecilnya. Dia tidak bisa seperti gadis-gadis lain yang bisa menceritakan dengan gamblang tentang masa kecilnya, pergi bersama orang tua mungkin, kamar penuh dengan boneka, atau sekedar bercanda. Mungkin hal-hal seperti itu pernah dia lakukan, tapi kenangan yang ada dalam benaknya hanya sebuah tragedy. Diumurnya yang baru menginjak usia 9 tahun, dia mendapat sebuah perlakuan yang dia tidak tahu apa itu, dimana daerah sensitifnya dipegang dan diremas oleh seorang lelaki yang dia panggil pak lek. Saat itu dia tidak tahu harus bertanya pada siap, sebab kedua orang tuanya lebih sibuk dengan pertengkaran mereka. Ayahnya lebih suka marah-marah kepada sang Ibu ketimbang mendengar keluh putrinya yang butuh perlindungan. Sedang ibunya yang harusnya menjadi tempatnya menumpahkan segala tanya, justru memberinya banyak keluh yang seharusnya belum pantas bagi anak seusianya untuk mendengar. Maka tumbuhlah Reya dengan segala rahasianya. Hingga ketika dia SMP, dimana dia tahu apa itu organ reproduksi, maka saat itulah dia tahu, jika Pak Lek nya telah melakukan pelecehan seksual padanya. Maka mulailah petualangan Reya, dimana dia mencari apa sebenarnya seks itu, sebab dia takkan pernah tahu dari orangtuanya. Entah berapa teman lelakinya telah menjamah tubuhnya, yang jelas, dia tahu sensasi bagaimana jika dia mendekati sebuah kegiatan bernama seks. Namun disinilah Allah begitu menjaganya, sebab jika ukuran suci adalah perawan, maka Allah selalu menjaga keperawanan Reya dengan cara yang aneh.
Kehidupan Reya semakin penuh petualangan, dia tak pernah menjadi bunga manis untuk satu kumbang. Dia akan menampakkan keindahan pada setiap kumbang yang mau memberinya ramai, dan mengusir galau dihatinya akibat kesepian. Meski dia tahu takkan ada cinta murni untuknya. Tapi apalah arti cinta, toh dia tak pernah mendapatkannya. Bagaimana dia bisa berharap orang lain mencintainya sedangkan kedua orang tuanya memikirkan dia saja tidak.
Reya adalah bunglon, dia tak akan menampakkan wujud sebenarnya, dia adalah anak baik-baik dirumah, dengan segudang prestasi. Prestasi yang dia harap mampu membuat Ayah atau Ibunya menepuk pundaknya dan berkata.
“Kami bangga mempunyai putri sepertimu” namun ternyata kata-kata itu tak kunjung dia dengar, justru orang tuanya semakin membandingkannya dengan anak-anak perempuan yang mereka anggap putri mereka. 
Hanya kepada seorang sahabatnya dia menceritakan semua keluhnya. Reya pun hanya mengeluarkan airmatanya didepan sahabatnya itu Tya. Meski setiap kali dia harus mendengar orangtuanya melarang dia untuk terlalu dekat dengan gadis itu, sebab gadis itu orang tak punya, dan mereka takut, Reya dimanfaatkan. Mengerti apa yang baik dan buruk, itulah akhil balig. Reya selalu bertanya, apa yang baik dan apa yang buruk, jika itu antara narkoba dan sholat, maka Reya dapat membedakannya. Namun ketika kita dihadapkan mana teman yang baik dan teman yang buruk, maka dimana definisi baik dan buruk itu berlaku. Yang ada hanya baik menurutmu dan aku, buruk menurutmu dan aku. Lalu? 
Maka Reya pun mengambil inisiatif dalam hidupnya. Dia akan menjadi apapun sesuai tempat dia berpijak. Maka dia berteman dengan orang-orang yang dianggap baik dan menurut dia munafik. Sedang Tya? Bagi Reya, persahabatan mereka tak perlu selalu diwujudkan, sekedar say hello, atau tersenyum saat bertemu, itu tidak membuat keduanya melupa.
Jenuh, Reya mulai jenuh dengan apa yang dia jalani. Dia mulai mencari apa sebenarnya hidup, apa yang harus dia lakukan. Maka sebuah pertemuan dengan teman-teman baru telah merubahnya. Dari penampilan, Reya mulai menutup auratnya, mulai teratur sholat. Dia tahu apa yang harus dia lakukan. Hingga dia mendapat sebuah kesadaran, ALLAH SELALU BENAR.
Hingga benteng yang dia bangun untuk melindungi dia akhirnya roboh saat Ayahnya mengatakan dengan terang, jika dia akan menikah.
“Menikahlah! Tak akan ada orang yang menghalangimu untuk menikah! Sejak aku lahir aku tak pernah merasakan adanya ayah, lalu apa bedanya sekarang!” dia berusaha menahan airmata yang mulai mendesak keluar. Keegoisan dan kesombongannya membuat dia berpura-pura tegar. Dia muak dengan segala kepura-puraan dia selama ini, dia tak pernah habis pikir, jika dimana seharusnya sang Ayah merencanakan pernikahan putrinya, ini justru dia merencanakan pernikahan dirinya sendiri. 
“Beri aku keadilan Allah, beri aku keadilan” entah apa yang dimaksud adil oleh Reya, yang jelas dia hanya tahu meminta, meminta kepada Dzat yang sering dia sebut BIG BOSS. Hatinya yang telah bernanah kini tertusuk, darah itu mulai tumpah bersma airmata.
Reya mengusap airmatanya, dia melihat taman mulai lengang dia beranjak, dia harus menuju rumah sakit dimana ayahnya terbaring dirumah sakit karna kecelakaan. Istri muda Ayahnya meninggal, dan sekarang putra ayahnya, yang tak lain adik tirinya menjadi tanggung jawabnya. Satria kecil itu memandangnya dengan mata sayu. Inikah keadilan yang dimaksud Allah, ketika dia memutuskan untuk menjadi seorang Rabiah, justru lewat mata anak itu dia ingin menjadi seorang Khadijah, melahirkan banyak anak dan mendidiknya agar anak-anaknya tak pernah merasakan bagaimana hidup tanpa kasih sayang. Mungkin, jika cerita hidupnya tak berjalan seperti ini, maka dia takkan tahu bagaimana rasanya memaafkan juga tak tahu rasanya melepas dendam. Akhirnya dia tahu apa arti ALLAH SELALU BENAR

0 komentar:



Posting Komentar

Mohon tinggalkan jejak-jejak cinta anda pada blog ini.
Makasih, Matursuwun!!!!!