Semurni Air


Rinai hujan membasahi kota semarang. Kaca Resto Putar Menara Alhusna yang berada di kompleks Masjid Agung Jawa Tengah mulai berembun. Pemandangan dari lantai 18 itu tak lagi indah. Ranti mengaduk cappuccino hangat yang sudah dia pesan. Bibirnya menempel pada gelas, cappuccino hangat menempel disana. Ranti mulai gelisah menunggu sahabatnya yang memintanya untuk bertemu ditempat itu.
Lift terbuka, perempuan dengan abaya biru dan jilbab senada menhampiri Ranti. Perempuan itu berdiri dan menyambut sahabatnya. Seorang waitrees datang, memberi daftar menu. Ranti memesan kentang goreng dan sahabatnya orange juice.
“Nes, ditelpon tadi kamu keliatannya gelisah? Ada apa?” Ranti membuka pembicaraan. Nesa menarik nafas, Ranti menatap heran. Wajah sahabatnya sangat gelisah, seperti ada seseuatu yang membebaninya. Hampir sepuluh tahun mereka bersahabat.
“Ran, bagaimana jika kamu menemukan cinta setelah menikah?” rasanya Ranti ingin menampar Nesa. Dia mengajukan pertanyaan yang seharusnya tak pantas ia ajukan sebagai perempuan bersuami.
“Kamu merasakan dicintai, kamu merasakan diperhatikan dan dibutuhkan” Nesa jatuh cinta, ekspresi wajahnya seperti gadis SMA yang baru saja mendapat pernyataan cinta dari seorang lelaki.
“Cukup Nes!” teriak Ranti, Nesa terlonjak.
“Aku tidak butuh pendapatmu Ran”
“…”
“Aku cuma ingin kamu mendengar apa yang aku rasakan.” Ranti menghela napas, dia berdiri, berjalan menuju lift, memencet tombol dan turun meninggalkan sahabatnya yang masih mematung ditempat duduknya. Ranti tergugu didalam lift. Dia bukan marah pada Nesa. Dia sedang meratapi kebodohannya. Pertanyaan Nesa, sesungguhnya adalah pertanyaan dari dalam hatinya. Apa yang terjadi jika kita menemukan cinta sesudah menikah.
Sepuluh tahun yang lalu Ranti dikenalkan dengan seorang lelaki oleh abangnya. Namanya Ikhsan, lelaki tampan dan mapan itu sahabat Rustam, abang si Ranti. Keluarga setuju dan Ranti pun menuruti kehendak mereka. Ranti pikir, keluarganya takkan menjodohkan dia dengan lelaki yang asal-asalan. Ranti juga tidak mau terjebak dengan yang namanya hubungan bernama pacaran.
Memasuki kehidupan rumah tangga, Ranti bersemangat. Dia ingin melakukan peran sebagai istri sebaik-baiknya. Rumah tangganya begitu sempurna dan tenang, bahkan saking tenangnya, Ranti menjadi pembosan. Tak ada riak yang berarti. Ranti bosan dengan kehidupan seperti ini.
“Kang, besok ulang tahun Ikbal” Ranti memasukkan beberapa baju kedalam tas Ikhsan. Lelaki itu berencana luar kota beberapa hari, ada tugas dari perusaahaannya. Ranti mendekati Ikhsan, merapikan kemeja yang ikhsan kenakan.
“Apa tidak sebaiknya akang menunda perjalanan ini?” Ikhsan tersenyum, menepuk pipi istrinya dan mencium kening Ranti.
“Akang pengen sekali nyenengin Ikbal ma kamu Ran, tapi…” Ranti tau kelanjutan kalimat Ikhsan, perempuan itu duduk ditepi ranjang. Ikhsan mengikuti perempuan yang sudah memberinya seorang arjuna.
“Akang janji, kita akan berlibur setelah akang pulang dari Jember, ya?” Ikhsan menggenggam jemari istrinya, mengusap pipi Ranti, mata perempuan itu berkabut.
Ranti mengantar suaminya hingga ujung pintu. Berat rasanya melepas lelaki itu. Ada rasa berat menggelayut didada. Airmata Ranti tumpah, bukan karna suaminya tak bisa menuruti permintaannya, tapi karna dia tahu suaminya berbohong tentang kepergiannya keluar kota.
-       Ran, bisakah kita bertemu?
Ranti membuka ponselnya kemudian membanting diatas kasur. Hatinya berkecamuk, semua menjadi dilemma. Haidir, lelaki itu menjadi sebuah telaga yang menyuguhinya kesejukan nirwana ketika semua mata air mengering.
Dia merasakan sensasi berbeda. Dia mendapatkan sesuatu yang selam ini tak pernah dia dapatkan dari suaminya. Kehangatan, tatapan penuh cinta dan seluruh perhatian. Bukan seperti yang Ikhsan lakukan padanya, hanya sebuah kewajiban. Kewajiban lelaki itu sebagai seorang suami.
Ranti sadar, dia salah. Bukankah suaminya lebih salah? Dia telah membohongi Ranti bertahun tahun.
Lelaki itu telah melukainya sedikit demi sedikit tanpa Ranti tahu. Perempuan itu tiba-tiba merasa jijik dengan dirinya.
***
“Bukankah melamun itu kebiasaan jelek” Haidir meletakkan segelas kopi panas diatas meja kerja Ranti.
“Makasih” Ranti tersenyum. Haidir memegang dadanya, berekspresi seolah tertembak didadanya. Ranti tertawa terbahak-bahak. Haidir mengembalikan senyumnya.
“Hari ini Ikbal ultah kan?” Haidir berjalan kemeja kerjanya, mengambil sesuatu dari laci meja. sebuah bungkusan kado berwarna biru bertengger ditangannya.
“Untuk Ikbal” Ranti menerima bungkusan kado itu.
“Makasih” Haidir menarik sebuah kursi dan duduk disebrang Ranti.
“Apa semua ini karna aku?” Haidir menatap Ranti.
“Apa maksudmu?”
“Apa kamu gelisah karna hubungan yang kita jalin selama ini?”  Ikbal meraih jemari Ranti perempuan itu tertunduk.
“Aku ingin bercerai dengan Kang Ikhsan Mas” Haidir menelisik kedalam mata Ranti, tak ada keraguan disana. Haidir merasa senang, karna berarti dia bisa segera memiliki perempuan yang dia puja selama tiga tahun ini.
“Secepatnya setelah Kang Ikhsan pulang, aku akan meminta dia menceraikanku” ucap Ranti mantap. Ranti sudah membuat keputusan. Ini bukan karna dia ingin melegalkan hubungannya dengan Haidir. Tapi dia ingin menyelamatkan Ikbal. Perempuan itu nggak mau putranya meneladani Ayahnya yang tak pantas menjadi teladan.
Dia sudah berusaha memperbaiki keadaan. Dia sudah berusaha mencegah kelakuan suaminya. Kini dia menyerah, dia tak akan peduli dengan omongan orang lagi. Dia sudah bertahan sekian lama.
***
“Ikhsan membawakan berbagai permainan untuk putranya. Ikbal sangat senang menerima oleh-oleh dari ayahnya. Ranti tak bicara sepatah katapun sejak kedatangan suaminya. Perempuan itu terus berpikir bagaimana caranya mengatakan permintaannya kepada Ikhsan.
Ranti mengumpulkan keberaniannya untuk mengungkap semua yang dia ketahui tentang suaminya selama ini. Dia ingin meminta penjelasan kepada lelaki itu atas derita yang dia tanggung.
“Kang, aku ingin akang jujur” Ikhsan sekilas menatap istrinya. Lelaki itu duduk disamping Ranti ditepi ranjang. Ikhsan melihat ekspresi istrinya tidak seperti biasa.
“Ada apa Ran?”
“Siapa Brani? Apakah dia kekasih Akang?” Ikhsan gemetar, peluh tiba-tiba membasahi tubuhnya. Ranti hanya mampu menahan desakan emosi dengan mata yang tergenang.
Ranti mencurigai sesuatu dari Ikhsan. perempuan itu pernah mendengar suaminya berbicara mesra. Ranti berusaha menyelidiki semua kegiatan sang suami. Ranti tak pernah percaya dengan pandangannya. Dilobi sebuah hotel, Ikhsan bertemu dengan seorang lelaki, bukan itu yang membuat perempuan duapuluh sembilan tahun itu terluka. Perilaku suami dan lelaki itu sangatlah janggal.
Hingga sebuah kenyataan dia dapat. Lelaki bersama Ikhsan bernama Brani. Dia seorang gay. Seperti tersambar petir, Ranti menahan amarah didadanya. Dia berusaha bertahan, selalu berbuat apa saja agar Ikhsan tidak keluar kota untuk bertemu kekasihnya.
Benteng pertahanan itu roboh, ketika seminggu yang lalu dokter menyatakan kalau dia terkena penyakit kelamin. Ranti benar-benar sakit hati, bukan hanya fisik, tapi juga hati.
“Kang, ceraikan aku saja” Ikhsan berdiri, keluar kamar dan pergi dari rumah malam itu juga.
***
“Ran, aku ingin segera melamarmu” ujar Haidir. Ranti masih saja terdiam. Ikhsan belum pulang sejak malam itu, padahal Ranti sudah melayangkan gugatan cerai.
“Entah Mas, aku sebenarnya juga ingin segera lepas dari semua ini”
Sebuah sms masuk ke ponsel Ranti. Ada nama Rustam disana. Segera Ranti membukanya.
-       Ikhsan kecelakaan
***
Tubuh ikhsan tergolek tak berdaya diranjang kamarnya Dia lumpuh total. Dia juga tak dapat berbicara. Ranti menyuapi suaminya semangkok bubur yang dia buat tadi pagi.
“emmm…map” Ikhsan berusaha mengatakan sesuatu. Ranti tahu jika Ikhsan ingin mengatakan maaf. Mata lelaki itu basah, begitu juga Ranti.
Rustam mengatakan jika Ikhsan mendaftarkan perceraian mereka dipengadilan Agama. Ranti menyadari keputusan bijak yang harus dia ambil adalah tetap bertahan. Ranti mencabut semua berkas perceraian. Dia juga mengakhiri hubungannya dengan Haidir. Lelaki itu kecewa, tapi dia sadar jika ini semua sudah menjadi keputusan Ranti.
Ranti membuka jendela kamar. Dia memandang suaminya, Ranti tersenyum, Allah sebenarnya sedang mengabulkan doanya, memberi riak dalam bahteranya. Bukan Ikhsan yang harus menyelesaikan semua ini, meski dialah sang nahkoda. Ranti lah pembuat keputusan, keputusan agar bahtera ini tak karam. Inilah juga yang dia minta, Ikhsan selalu disampingnya, dia tak pernah sejatuh cinta ini kepada Ikhsan.

0 komentar:



Posting Komentar

Mohon tinggalkan jejak-jejak cinta anda pada blog ini.
Makasih, Matursuwun!!!!!