Kejar daku kau
kutangkap. Itu judul sebuah film, bukan kisah cinta Resti. Kau kejar aku dulu,
sekarang aku yang mengejarmu. Mungkin itu judul yang pas untuknya. Wuih,
jadinya kejar-kejaran dong, asal nggak dikejar-kejar sama bences-bences yang suka mangkal
dibeberapa pusat perpangkalan di kota semarang aja. Pengalaman ni ye, kalo
ngomong pengalaman ada tu seorang teman, niat cuma ngegoda eh malah dikejar
beneran, jadinya kejar-kejaran, kayak Shah Rukh Khan ma Kajol di film India,
tau deh siap berperan sebagai siapa,
hehehe. Aiyah malah guyon, terusin ceritanya. Tapi maaf ye, bukan
bermaksud melecehkan suatu kaum. Kembali ke hati Resti yang kayak ombak
bergulung. Yah, begitulah jika cinta mulai tertawan. Gemboknya bukan buatan
Prancis apa Cina, tapi ini gembok cinta. Asli buatan hati dan hanya bisa dibuka
oleh hati yang pas. Yang payah adalah, jika hati yang menjadi kunci itu hilang.
Ya sudah, rasa itu akan terpenjara. Masalahnya adalah nggak ada tu pembuat
kunci duplikatnya.
Paling susah nlateni hati
orang. Sulit, sulit banget, apalagi jika yang di tlateni itu hati yang keras
bagai batu.dan lebih sulit lagi, kalo hati yang nlateni adalah hati yang sepi.
Hati yang butuh kelembutan, gimana coba? Jika ini sebuah kuis, mungkin
jawabannya bisa ya atau tidak. Sayang, ini bukan kuis, ini masalah hati.
“Mas, liburan besok ke
maron yuk,” ajak Resti. Aan masih sibuk dengan komputernya, tak sedikitpun
menoleh atau memberi opini.
“Mas.” Resti merajuk.
“Res, aku lagi kerja!”
Gertak Aan. Nyali Resti menciut. Dia nggak tahu kenapa dia bisa tahan dengan
Aan. Resti ingat saat Aan masih PDKT, dia bersikap begitu romantis Selalu setia
menjadi leo alias lek ojek alias sopir,
kemanapun dan kapanpun. Bersedia menemani kemana aja. Sekarang setelah dia
menerima cinta Aan, justru berbalik.
Resti yang seolah-olagh mengejar cinta Aan. Bukan dia nggak mau, tapi dia
capek. Capek berharap, capek meminta.
“Nggak usah manja, kamu
udah dewasa Res,” ujar Aan saat melihat Resti cemberut. Resti berlari kekamar
mandi, seperti biasa, menangis. Mendung itu berubah menjadi hujan yang siap
membanjiri sudut mata. Hati Resti remuk, kasih sayang dan kelembutan yang dia
harapkan, sepertinya nggak bakal datang dari pria pujaannya. Haruskah dia
mencinta sendiri? Tak lihatkah jika hati Resti menderas rindu. Dia merasa
istimewa di hati Aan, tapi ternyata keistimewaan itu nggak berarti didepan
teman-teman. Sekali lagi, Resti capek.
***
Semakin hari, Resti semakin
tidak tahan. Dia merasa dia menjadi pengemis, pengemis cinta. Wuih, keren dong,
meski pengemis, tapi pengemis cinta. Yah, tapi kalo nggak dikasih cinta ya sama
saja, kecut.
Resti memutuskan untuk
menyerah. Jika Aan bisa membatu, dia pun juga akan membatu. Mungkin bagi Aan
dia menganggapnya sudah tak penting lagi.
“Res, ntar siang ada
acara?” Tanya Aan.
“Nggak,” jawab Resti
ketus.
“Kamu kenapa sih?!, aku
tanya baik-baik juga!” Nada suara Aan meninggi.
“O, gitu ya,”
“Res?!”
“Kenapa? Emang aku
nggak boleh bersikap keras? Cuma kamu yang boleh keras kepala?”
“Ini kenapa sih?!”
“Mas aku udah capek,
aku capek nurutin kamu. Kamu minta aku nggak manja, aku lakuin,” suara Resti
mulai berat, dia menahan aliran airmata.
“Aku ini ada Mas! Aku
pacarmu, aku pengen kamu perhatikan!”
“…”
“Aku ingin melihat
ekspresi yang sama, ekspresi yang kamu tunjukkan pada yang lain!”
“…”
“Selama ini aku merasa
kamu tidak ada.” Resti tak lagi dapat membendung tangisnya.
“Aku merasa nggak bisa
nembus hatimu yang membatu, aku nyerah!”
“Res.”
“Sudahlah Mas, mungkin
permintaanku terlalu sulit.”
“…”
“Mas, jujur, sebenarnya
Mas sayang nggak sama aku?” Aan terdiam, dia sulit mengungkapkan perasaannya,
dia terlalu sayang hingga sayang itu tak mampu dia ucapkan. Resti berlalu dari hadapan Aan. Dia merasa,
untuk memperoleh jawaban saja dia juga harus nunggu, capek deh.
Namun, tanpa tahu,
Resti telah membuat Aan menangis. Bukan karna kalimat-kalimat yang dilontarkan
Resti, tapi lebih ke sakit. Sakit karna melihat bidadari yang mengisi jiwanya
meneteskan airmata. Dia tak menyangka, jika selama ini dia membuat bidadari
kecil itu menangis. Andai Resti tahu, betapa dia sangat mencintanya.
***
Hati Resti menderas.
Dia rindu, relung hatinya merindukan jiwanya. Cintanya yang terpenjara ingin
lepas, terbang bebas bagaikan panah yang melesat, menuju sasaran cintanya. Tapi
tak bisa, kunci penjara itu hilang. Dia sendiri yang menghilangkannya. Hah, semoga kelak tak ada rasa sakit dalam
mencintai. Yah, mungkin aja dimasa depan nanti ada toko atau apotik cinta, yang
menyediakan berbagai macam obat sakit cinta, dari masalah patah hati, selingkuh
ampe penyakit jomlo hehehehe.
“Res.” Lala menepuk
pundak Resti.
“Jangan jadi batu.”
Resti mengernyitkan dahi.
“Aku tahu kamu
bertengkar ama Aan kemarin.” Resti tersenyum pahit. Hatinya sakit, jujur rasa
sayang itu membuatnya rubuh. Airmatanya terjatuh dalam hati.
“Res, Aan itu keras
kepala, kalo kamu keras kepala juga jadinya akan hancur.” Resti tertunduk.
“Jika batu dilawan
batu, maka salah satunya akan pecah.”
“…”
“Ya kalo salah satu
yang pecah. Masalahnya, pada kasusmu, keduanya akan pecah. Aku tahu kalian, perasaan
kalian.”
“…”
“Aku tahu, kamu dan Aan
saling mencintai. Demi Allah, kalian jangan seperti ini.”
“Lalu aku harus
bagaimana?”
“Jadi air.”
“Maksudnya?”
“Hanya ombak yang bisa
mengalahkan karang. Jadilah air dengan kasih sayangmu. Aku yakin Aan pasti melunak.
Wanita adalah sumber kasih sayang, jadi berilah dia kasih sayang
sebanyak-banyaknya, Insyaallah dia akan membalas kasih sayangmu.”
“Kalo tidak berhasil?”
“Res, Allah maha
pengasih maha penyayang. Pasrahkan semua ke Allah”
Ragu, mungkinkah Aan
berubah. Hah, bagaimana dia tahu jika tak mencoba. Kembali, haruskah dia
kembali menjadi pengemis cinta? Bukan, tapi pejuang cinta. Cinta yang sejatinya
dia harapkan dan dia nanti. Jauh di kedalaman hati, Resti terima apapun yang
akan dilakukan Aan, asal dia dapat melihat senyumnya. Senyum? Dia ingat, setiap
kali melihat tingkahnya, Aan selalu tersenyum. Ya, itu dia, tanpa Resti sadari,
Aan memperhatikannya. Memang, nggak semua cinta diungkapkan.
***
Berputarlah duhai
waktu, berputarlah dan bawa juwita hatiku kembali kepangkuanku. Hatiku pilu
kasih melihat butir-butir itu mengalir pada wajah ayu dibalik jilbabmu. Aan
merindu, salahkah sikap dia? Menyakitkankah perlakuan dia? Resti, bidadari yang
dia ambil sayapnya kini terluka, bukan karna patahnya sayap tapi luka dalam
hati. Aan menyesal, bukan maksud dia terlalu keras. Aan hanya takut, takut
ketika dia harus kehilangan Resti dia akan terluka. Sekarang bukan dia saja
yang terluka, bintang dalam hatinya ikut redup. Mungkinkah sinar itu kembali
berpendar dan menyinari hatinya?
“Mas.” Aan menoleh,
betapa bunga itu hadir dihadapannya. Dia rindu, rindu menatap gemintang itu.
“Res.”
“Ststststst.” Resti
meletakkan jari telunjuknya di bibir Aan.
“Mas pernah bilang,
wanita itu sumber kelembutan, tapi maaf, aku belum bisa lembut.”
“…”
“Aku belum bisa lembut,
maka kuharap kau bisa lembut kepadaku, aku manja, maka dewasalah kepadaku, aku
cengeng, maka tegarlah, aku rapuh maka kuatlah. Demi Allah, sayang ini adalah
pemberianNya”
“Aku juga salah Res.”
Aan metatap mata bintang itu, ada malu disana ketika mata mereka beradu.
“Aku takut sakit karna
kehilanganmu, tapi justru semua ini malah semakin membuatmu sakit” hujan rintik
diluar jendela menjadi penyejuk dihati mereka. Heningnya malam pun semakin
menguatkan cinta mereka.
“Demi Allah yang
mempersatukan kita, maukah kau menikah denganku, beribadah bersamaku, berjalan
menuju Allah bersamaku?” Senyum tersipu itu mewakili segala isi hati. Demi Dzat
yang menggenggam hati manusia. Dialah sebaik-baiknya pemersatu hati dan
sebaik-baiknya pemberi jalan lurus.
Begitulah cinta,
penantian sebuah hati adalah penjara siksa yang tak terperi. Cinta selalu
menjadi warna kehidupan. Makanya kalo cinta ngomong dong. Kata Ran, tunjukkan
cintamu.
Kalian menjadi pelita ideku, YUSUF DESI
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan jejak-jejak cinta anda pada blog ini.
Makasih, Matursuwun!!!!!