Disebuah pendopo rumah, duduk
seorang pria dikelilingi banyak bocah. Ditangannya sibuk membuat keris-kerisan
dari janur. Beberapa bocah memandang takjub kepiawaian pria tersebut.
Namanyanya Patih Darwiseno, beberapa hari ini dia tinggal dirumah, sengaja
ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama putranya Pawana yang berumur
sepuluh tahun, juga putrinya yang menginjak usia tujuh tahun.
Seorang pria berjalan perlahan
menghampiri Darwiseno. Tubuhnya tinggi tegap, kumisnya tebal dengan brewok yang
menutupi dagu dan sebagian pipinya, dia tertawa sambil mengelus jenggotnya.
“Hahahahaha, Sepertinya pekerjaan
barumu ini lebih menarik Ngger.” Suaranya yang besar membahana.
“Paman Beksi!” Seru Darwiseno, dia
menyambut pria yang dianggapnya sebagai ayah dengan pelukan.
“Eyang Beksi!” Teriak Pawana, segera
bocah itu berlari menghambur kepelukan eyangnya.
“Hahahaha, cucuku ini tampak semakin
gagah saja.” Puji Ki Beksi seraya mencengkram pundak Pawana.
“Ayo Ngger, Eyang ingin melihat apa
kamu berlatih dengan baik.” Segera dua pria beda generasi itu bersiap
dipelataran rumah. Para abdi dan dayang berkerumun, ingin melihat pertarungan
putra junjungan mereka. Pawana, meski masih bocah, dia dikenal memiliki ilmu
kanuragan yang mumpuni untuk seusianya. Bagaimana tidak, Ayahnya yang seorang
patih, sudah melatih bocah itu sedari berumur lima tahun.
Ki Beksi dan Pawana berdiri jauh
saling berhadapan. Ki Beksi melempar sebuah ranting sebagai ganti keris. Pawana
mengayunkan ranting itu, menyerang lebih dahulu kearah Ki Beksi. Pria tua itu meloncat
mundur, menghindari serangan cucunya. Pawana kemudian menyerang tubuh bagian
kanan, Ki Beksi menghindar kekiri lalu meloncat hingga kebelakang Pawana.
Keduanya saling serang, namun Pawana belum bisa mengenai tubuh Ki Beksi.
“Berhenti!” Pawana bersungut-sungut,
Ki Beksi mendekat.
“Ada apa Ngger?”
“Eyang hanya menghindar dari tadi,
kapan kita bertarung?” Ki Beksi tertawa keras.
“Hahahaha, Baiklah kalo itu
keinginanmu, bersiaplah Ngger!” teriak Ki Beksi, pria itu bersiap menyerang
Pawana. Satu serangan belum membuat Pawana kewalahan, namun ketika tangan Ki Beksi
mendorong pundak kirai Pawana, bocah itu terjengkang. Belum sempat berdiri, Ki Beksi
kembali mengarahkan kepalannya, dengan bertumpu pada tangan Pawana melompat,
menghindar. Nafasnya tersengal. Dia menyerang dengan kepalannya, namun berhasil
ditangkis Ki Beksi, ditarik tangan mungil itu kebelakang lalu didorongnya
hingga terjerembab.
“Cukup…cukup, Eyang Beksi memang
hebat.” Pawana berdiri, membersihkan tubuhnya dari debu yang menempel. Ki Beksi
membantu bocah itu kemudian menepuk pundak cucunya.
“Bagaimana Eyang bisa sehebat itu?” Ki
Beksi tersenyum bijak, dia berlutut dihadapan Pawana, membenarkan letak iket
kepalanya.
“Kamu akan hebat, jika hatimu juga
hebat.” Pawana mengernyitkan kedua alisnya.
“Kamu harus melawan nafsu angkara
dihatimu dahulu, maka kamu akan menjadi hebat.” Pawana mengangguk mengerti, Ki Beksi
menatap Darwiseno, pria itu tertunduk.
“Pawana, minta biyungmu memasak
makanan yang enak untuk Eyang.” Pawana mengangguk, bocah itu langsung berlari
kedalam rumah sembari memanggil biyungnya. Ki Beksi berdiri, dia mendekati
Darwiseno. Mereka memutuskan untuk berjalan-jalan keliling desa.
“Paman, Prabu Damar Bhahureksao
tidak mengijinkan aku mundur.” Beksi tersenyum, matanya menelisik jalanan desa.
“Aku ini hanya pria tua, apa yang
kamu ingin dengar?” Darwiseno menatap lemah Ki Beksi.
“Bukankah semua keputusan ada
ditanganmu?” Ki Beksi sama sekali tidak menatap wajah Darwiseno.
“Semakin aku bertahan, semakin aku
merasa bersalah pada rakyat kerajaan Pangkalarung, aku juga semakin kehilangan
diriku sendiri.” Suara Darwiseno lemah, keduanya menghentikan langkah, Ki Beksi
menepuk pundak Darwiseno.
“Lalu apa kamu tega mebiarkan
rakyatmu seperti itu?” Ki Beksi menunjuk kerumunan warga yang sedang berdiri
didepan lumbung desa, mereka antri demi sejimpit beras yang dijanjikan kerajaan
untuk membantu rakyat yang terkena bencana dan musim paceklik. Setiap hari
mereka harus antri, meski ditengah hari mereka harus kecewa karna petugas
selalu mengatakan persediaan beras habis untuk hari itu, dan akan ada beras
lagi keesokan hari. Melihat wajah-wajah kecewa warga desa, Darwiseno seperti
tercekat, dia merasa tercabik melihatnya.
“Apa yang harus saya lakukan Paman?
Bahkan Gusti Ratu sebagai kepala Istana Njero tidak mampu menyentuh penghuni
Wulan Ndadari, bagaimana dengan aku?” Darwiseno terdengar putus asa.
“Wulan Ndadari terlalu sulit
ditembus, Sekar Manyari terlalu banyak orang disekelilingnya.” Ki Beksi terdiam, tiba-tiba matanya terpejam.
Ketika matanya terbuka, dia melihat sebuah cahaya jatuh dari langit tepat
dirumah Darwiseno.
“Kanjeng Patih!” Ki Beksi dan
Darwiseno membalikkan badan, seorang prajurit berlari tergopoh-gopoh.
“Kanjeng Patih, Ndoro Ayu akan
melahirkan.” Lapor prajurit, Ki Beksi dan Darwiseno bertatapan, kemudian
berlari menuju rumah.
***
Kebahagiaan dirumah Darwiseno
kembali terpancar, Lastri istrinya melahirkan seorang putri kembali. Seperti
Chandra Padmini, bayi yang diberi nama Sekar Widati ini juga mempunyai tanda
lahir dileher bagian belakang kuping sebelah kanan. Jika Chandra Padmini berupa
gambar bulan sabit, maka Sekar Widati berupa gambar bintang.
“Bopo, apakah ini pertanda aku dan
adik tidak dapat dipisahkan?” Darwiseno tersenyum, dia menyentuh pundak anak
keduanya.
“Kakangmu, kamu dan Sekar Widati,
kalian tidak akan pernah terpisahkan.” Lastri yang masih terbaring diatas
ranjang tersenyum haru mendegarnya. Ki Beksi yang mendengarnya dibalik pintu
terlihat sedih, matanya berair.
***
Harta, tahta dan wanita, untuk yang
terakhir seorang perempuan bernama Sekar Manyari tahu betul bagaimana
memanfaatkan karunia Sang yang Widhi menjadi komoditas berharga bagi dirinya.
Dengan kecantikannya dia berhasil membuat Damar Bhahurekso bertekut lutut
dikakinya. Bahkan kecerdasaanya mampu mempengaruhi ekosistem pria yang ada
diseluruh kekuasaan istana njaba. Kini bahkan Ratu Dyah Aloka tidak mampu
berbuat apapun. Sebagai Kepala Istana Njero, dia sudah tidak dianggap, Prabu
Damar Bhahurekso bahkan memintanya untuk tidak ikut campur urusan Sekar
Manyari.
“Kanjeng Selir, Kepala Urusan
Bhayangkara datang berkunjung.” Lapor seorang dayang. Sekar Manyari meminta
Embannya menyambut Rego Kammada dan mempersilahkannya masuk.
“Senang sekali Paman Rego datang
berkunjung.” Sambut Sekar Manyari. Keduanya duduk diruang tamu kediaman Wulan
Ndadari. Beberapa dayang mempersiapkan makanan kecil buah dan wedang jahe.
“Ada apa Paman kemari?” Rego Kammada menelangkupkan kedua tangan
didepan dadanya.
“Ampun Kanjeng Selir, hamba
mengganggu istirahat Kanjeng.” Sekar Manyari tersenyum. Senyum maut inilah yang
membuat semua pria tidak mampu menolaknya.
“Paman Rego jangan sungkan, aku
tahu, Paman punya hal penting yang ingin disampaikan.”
“Kanjeng Selir, hamba mohon maaf
sekali lagi, sebab hamba tidak mampu melaksanakan perintah Kanjeng Selir dengan
baik?” Sekar Mayari mengernyitkan kening.
“Semenjak desas-desus tentang
mundurnya Patih Darwiseno, seluruh prajurit tampak gelisah, jika kita tidak
mampu mempertahankan Patih Darwiseno, hamba takut kita tidak mampu menguasai
bhayangkara kerajaan.”
BRAAAAAAK.
Sekar Manyari menggebrak meja, Rego
sedikit terlonjak, mata perempuan itu hamper copot.
“Bagaimana Patih kurang ajar itu
bisa berpengaruh banyak kepada prajurit?! Bukankah kamu sebagai kepala urusan
bhayangkara yang lebih berwenang?!” teriak Sekar Manyari.
“Ampun Kanjeng Selir, bagaimanapun
Patih Darwiseno lah yang mampu membangkitkan semangat juang para prajurit,
dialah yang paling mengerti keadaan prajurit.” Sekar Manyari semakin marah,
wajahnya merah padam, Rego tidak berani mengangkat kepalanya.
“Ini tidak akan aku biarkan, dia
harus jatuh! Dia harus jatuh!” jemari Sekar Manyari mengepal, kemudian sebuah
senyum licik menghias dibibirnya.
“Paman Rego, segera laksanakan
perintahku, hancurkan Darwiseno sekarang juga!” Rego mengerti, dia segera undur
diri untuk mempersiapkan prajurit.
Sekar Manyari tidak akan pernah
membiarkan seekor lalatpun menghalangi rencananya, apalagi seorang Darwiseno.
Dia akan menghancurkan pria malang itu.
“Maafkan aku Kakang Darwiseno, kamu
menolakku mentah-mentah, maka aku harus bertindak kejam.” Tak terasa airmata
jatuh dipipinya. Tanpa orang tahu, sebenarnya perasaan Sekar Manyari begitu
dalam pada Patih Darwiseno.
Pertama kali dia bertemu Patih
Darwiseno, ketika dia mengawal Prabu Damar Bhahurekso menuju sebuah hutan untuk
berburu. Saat itu Sekar Manyari berusia 17 tahun, dan dia sedang berlatih
menari dipinggir sungai.
Ketika ketiganya bertemu Sekar
Manyari langsung jatuh hati pada Patih Darwiseno. Namun hatinya harus patah
ketika mengetahui Patih Darwiseno sudah beristri dan mempunyai dua buah hati.
Hingga datang lamaran Prabu Damar Bhahurekso, Sekar Manyari menjadi berambisi.
Dia pikir, jika mampu menguasai kerajaan, dia bisa menguasai Darwiseno.
Perkiraan Sekar Manyari salah, Patih
Darwiseno membenci semua tindakannya, dia menjadi pria pertama yang menentang
semua rencananya dan tetap setia pada keluarganya.
“Emban, perintahkan pada Paman Rego,
bunuh keluarga Patih Darwiseno, tapi bawa hidup-hidup pria itu kehadapanku!”
perintah Sekar Manyari dengan amarah yang dipendamnya.
***
Keluarga bahagia Darwiseno menikmati
sore yang begitu indah, mungkin sore terakhir mereka untuk bersama-sama. Karna
selanjutnya secerah apapun mentari, semua akan menjadi gelap bagi Pawana,
Chandra Padmini dan Sekar Widati.
Chandra Padmini berlarian bersama
Pawana, sesekali terlihat Pawana mengejek adiknya dengan menjulurkan lidahnya.
Ditangga pendopo, duduk Darwiseno dan Lastri yang menggendong Sekar Widati.
Sesekali bayi mungil itu menggeliat resah, sepertinya dia tahu apa yang akan
terjadi pada ibu dan saudara-saudaranya.
“Dinda, terimakasih atas semua yang
kamu berikan padaku.” Ucap Darwiseno.
“Kakang kenapa? Bukankah semua ini
sudah kewajibanku sebagai istri kakang?” Darwiseno membelai pipi Lastri,
perempuan itu malah terharu dan menangis.
“Seharusnya aku yang berterimakasih,
karna Kakang sudah menjadi suami yang baik, rasanya apa yang aku lakukan belum
cukup mengganti kebaikan Kakang.”
“Dinda Lastri,” Darwiseno merengkuh
pundak istrinya, mereka kemudian menatap keceriaan buah hatinya.
Malam merapat, suara alam syahdu
menghibur jiwa-jiwa yang mulai lelah setelah sehari mengejar mentari. Lastri
mencium kening Pawana dan Chandra Padmini yang terlelap karna lelah bermain.
Sekar Widati pun telah memejamkan mata, kini kelelahan merayap ditubuh Lastri.
Perempuan itu keluar kamar, didapatinya sang suami termenung, berdiri didepan
jendela, entah karna bulan yang bulat indah atau pikiran yang bergelayut penuh
tikai. Lastri menyentuh lembut pundak suaminya. Darwiseno menoleh, senyum
terkembang mendapati penyejuk hatinya berdiri disisinya. Direngkuh pundak
istrinya kedalam dekapan dada bidangnya.
“Apa yang Kakang pikirkan?” ucap
Lastri sembari melingkarkan pinggang kepinggang suaminya.
“Aku merasa takut Dinda.” Pria
setangguh Darwiseno yang bisa melibas musuh dalam satu sabetan, merasakan takut
malam itu, semakin erat Lastri memeluk.
“Kakang…” bisik Lastri.
“Maafkan aku yang melibatkanmu juga
anak-anak dalam masalah ini. Aku merasa sesuatu akan terjadi.”
“Kang?” Lastri mengangkat kepalanya.
Ditatapnya nanar mata sang suami.
“Besok pagi, aku akan mengirimmu ke
tempat paman Beksi.”
“Aku akan tetap disini Kang.”
“Tidak, kamu akan pergi dari sini,
anak-anak kita lebih membutuhkanmu.”
“Tapi Kang, aku tidak bisa
mengingkari darmaku sebagai seorang istri untuk tetap disampingmu dalam suka
maupun duka.”
“Darmamu tidak terlanggar Dinda,
ketulusanmu akan selalu mendampingiku.” Lastri masih ingin membantah, namun
terdengar kegaduhan dari luar rumah. Darwiseno meminta Lastri membangunkan
anak-anak dan pergi lewat pintu belakang.
Darwiseno keluar, terlihat beberapa
pendekar bercadar telah menumbangkan prajurit yang menjaga rumahnya.
“Siapa kalian?!” pendekar-pendekar
itu tidak menjawab malah menyerang Darwiseno. Pria itu melompat mundur
menghindari tebasan keris yang mengarah kepadanya. Ilmu kanuragan
pendekar-pendekar itu cukup tinggi, terbukti Darwiseno cukup kewalahan meladeni
mereka. Beberapa kali serangan, Darwiseno cukup lelah, dia harus terus
menghindar, melompat kesana kemari. Ketika menghadapi satu pendekar, dari
belakang dia diserang oleh pendekar lainnya, begitu dari samping kanan dan
kiri. Lengan Darwiseno tergores keris, darah mengucur. Darwiseno mengeluarkan
ajian tapak irang, sebuah ajian yang akan melumpuhkan organ tubuh orang yang
terkena, pendekar-pendekar itu terpental, namun terlihat seorang pendekar
berhasil bangun dan menyerang dada Darwiseno dengan ajian gondang lanang, ajian
yang melumpuhkan tubuh, seolah tak punya tenaga jika terkena ajian ini. Tubuh
Darwiseno lemas, dia seperti tak punya tenaga untuk bangkit, dia jatuh pingsan.
Ketika-pendekar-pendekar itu
berhasil mebawa Darwiseno pergi, Lastri sekuat tenaga menggendong Sekar Widati
dan lari bersama Pawana dan Chandra Padmini. Pawana sesekali menenangkan
Chandra Padmini yang menangis ketakutan. Mereka berlari memasuki hutan,
tiba-tiba terlihat bayangan yang terbang diatas mereka, menyibak
ranting-ranting pohon.
“Mau kemana cah ayu?” Suara itu
menggelegar memecah sunyi, Lastri mendekap ketiga buah hatinya.
“Ku mohon Paman, lepaskan kami.”
Isak Lastri, pria itu yang tak lain Rego Kammada hanya tertawa menggelegar.
Keberanian muncul dilubuk hati Pawana, tangan-tangan kecil itu menyerang Rego
Kammada. Terang saja tubuh kecil itu bukan tandingan Rego, sekali pukul tubuh
itu terpental jauh.
“Pawana!” Pekik Lastri.
“Kang Pawana?” Chandra Padmini
menghampiri tubuh kakaknya yang terbujur kaku.
“Sebenarnya aku tidak tega membunuh
kalian, mengingat betapa baiknya suamimu padaku, tapi ini semua adalah titah
Kanjeng Selir Sekar Manyari.” Ujar Rego, Lastri terbelalak mendengarnya.
“Maafkan aku Lastri.” Rego bersiap
menghunuskan kerisnya, namun tiba-tiba tubuhnya terpental. Seseorang keluar
dari kegelapan hutan.
“Eyang Beksi.” Ucap Chandra Padmini,
dia berlari menghampiri Beksi. Pria itu meminta Chandra Padmini menyingkir.
Kini Beksi menghadapi Rego yang memegang dadanya yang sakit.
“Ketek Ogleng! Siapa kamu?!
Berani-beraninya melawanku!”
“Aku bukan siapa-siapa, aku hanya
ingin menyelamatkan menantu dan cucuku.”
Beksi tertawa sinis.
“Kurang ajar!” Rego menyerang kearah
Beksi dengan sebilah keris, Beksi menangkisnya, kemudian memukul bawah ketiak
Rego lalu membantingnya ketanah, Rego meringis kesakitan. Beksi segera
menghampiri Lastri yang ketakutan.
“Paman Beksi…” Lastri tidak dapat
menahan tangisnya.
“Tenang Ngger, aku akan
melindungimu.” Beksi membantu Lastri berdiri, tepat saat Lastri melihat rego
bangkit dan menyerang Beksi. Perempuan itu mendorong Beksi dan menjadi tameng
ajian andalas yang meremukkan tubuh Lastri. Sekar Widati yang ada
digendongannya pun terjatuh ketanah, Lastri tewas, dan begitupun Sekar Widati.
Dengan amarah yang besar, Beksi
menghantam tubuh Rego dengan ajian ganesha nya. Rego jatuh, tubuhnya bersimbah
darah.
Beksi terduduk menyaksikan
mayat-mayat yang tergeletak didepannya. Terdengar suara teriakan dari jauh.
Terlihat juga obor-obor yang mulai menerangi hutan. Beksi bangkit, diraihnya
tubuh Chandra Padmini.
“Eyang, Kang Pawana dan Sekar
Widati.” Isak Chandra Padmini.
“Kita pergi Nduk, jika memungkinkan,
kita akan kembali dan mengubur mereka dengan layak.” Ucapan Beksi terasa
meyakinkan meski dia sendiri ragu, apa bisa mereka kembali.
Prajurit datang tepat setelang
kepergian Beksi. Mereka menemukan mayat Rego tergeletak mengenaskan. Joko
Aryoko, pemimpin pasukan melihat sekar Widati tergeletak disisi Lastri, pria
itu melihat Sekar Widati menggeliat. Kehilangan janin dari kandungan istrinya
sangat menyakitkan bagi Joko Aryoko dan Sri Lasih, melihat bayi Sekar Widati rasa
welas asih itu timbul, dia akan membawa pulang Sekar Widati.
“Prajurit! Tinggalkan tempat ini,
sepertinya tidak ada yang selamat lagi!” Joko Aryoko memerintahkan prajurit
mundur, Joko Aryoko pulang bersama Sekar Widati.
Lalu bagaimana nasib Pawana? Benarkah
dia mati? Tidak! Sepeninggal Joko Aryoko dan para prajurit, dia tersadar.
Seluruh tubuhnya nyeri. Dia mencoba bangkit, mencari Ibu dan adik-adiknya. Dia
putus asa melihat tubuh Ibunya yang telah kaku.
“Biyung…” Pawana memeluk jasad
Ibunya. Tubuh kecil itu, sekuat tenaga mengubur jasad ibunya dengan layak. Purnama
seakan tak mampu menjadi penerang dihati Pawana yang mulai mengeras, sahutan
burung dimalam hari tak menyusutkan sisa tenaganya untuk berusaha melayakkan
mayat Ibunya. Airmatanya terus menganak sungai, bahkan hujan pun akan kalah
deras dengan perih batinnya.
“Biyung, Bopo, saya tidak akan hidup
mewah hingga dendam kalian terbalaskan!” setelah mengatakan kalimat itu, tubuh
kecilnya tergeletak lemas. Begitu banyak dera yang menimpanya kini dia lelah.
***
Kehidupan harus terus berjalan,
meski tanpa cahaya yang akan menerangi setiap langkah kaki. Namun Chandra
Padmini tidak dapat menerima hal itu. Tubuhnya jatuh, sudah dua hari badannya
panas dan tak sadarkan diri. Dalam tidurnya, dia selalu mengigau memanggil
orang tua dan saudara-saudaranya. Nyai Menur memandang nanar tubuh gadis itu, Ki
Beksi dan Nyai Menur hamper dua hari tidak tidur karna menjaga bocah perempuan
yang amat mereka sayangi.
“Nyai, bagaimana keadaan gendhuk?” Ki
Beksi menyentuh pundak istrinya, Nyai Menur terlonjak. Wanita paruh baya itu
hanya menggeleng lemah. Ki Beksi duduk ditepi ranjang, menyentuh jemari mungil
Chandra Padmini.
“Kasihan gendhuk, dia harus
kehilangan orang-orang yang paling dekat dengannya diusia yang sangat muda.”
Ujar Nyai Menur seraya mengganti kain basah yang diletakkan dikening Chandra
Padmini.
“Bopo, Biyung…” Chandra Padmini
mengigau kembali.
“Padmini… Chandra Padmini?” Ki Beksi
mendekatkan wajahnya. Mata Padmini terbuka, basah oleh airmata yang tumpah.
“Eyang Beksi, Nyai Menur?” Chandra
Padmini menatap bergantian Ki Beksi dan Nyai Menur, keduanya bertatapan dan
tersenyum. Nyai Menur membantu Chandra Padmini bangun dari tidurnya, Ki Beksi
mengambilkan ramuan obat untuk gadis itu. Keduanya membantu Chandra Padmini
meminum ramuan obat. Bocah itu meringis karna kepahitan. Tiba-tiba dia teringat
saat Ibunya, Lastri selalu menghiburnya tiap harus meminum jamu ketika sakit.
Saat Chandra Padmini ngambek, maka Lastri akan membuat mimik lucu supaya dia
tersenyum.
Ki Beksi dan Nyai Menur hanya
menghela napas melihat cucunya menangis kembali.
“Bukan saatnya menangis Nduk,
bangkitlah, masih banyak kehidupan yang harus kamu jalani.” Tangis Chandra
Padmini pecah, Nyai Menur merengkuhnya dalam pelukan.
“Menangislah hari ini, besok saatnya
kamu harus bangkit.” Ujar Nyai Menur sembari menepuk-nepuk pundak Chandra
Padmini.
***
Chandra Padmini mulai tenang, dia
tidur tanpa mengigau kembali. Nyai Menur menyelimuti tubuh bocah itu lalu
mencium keningnya. Wanita tersebut berjalan keluar rumah, mendapati suaminya
duduk bersila diatas bale-bale, Nyai Menur duduk mendekat.
“Apa rencanamu Ki?” Ki Beksi
menghela napas, menatap istrinya dengan keraguan. Ki Beksi tidak punya rencana
apapun, kejadian ini merenggut logika pikirannya. Bayangan masa depan yang dia
terima membuatnya bingung, dia sudah berusaha menolong ketiga buah hati
Darwiseno, tapi tetap saja gagal. Meski dia kembali untuk mengubur mayat
Lastri, Pawana dan Sekar Widati, tapi usahanya sia-sia, tubuh-tubuh itu tak ada
jejaknya. Mungkinkah bayangan masa depan itu akan terjadi. Haruskan ditangan
Chandra Padmini darah tertumpah kembali? Tidak, Ki Beksi tidak akan membiarkan
Chandra Padmini menjadi perempuan kejam seperti Sekar Manyari. Biarkan dendam
itu terputus sejak dari sini.
“Akan kita bawa Chandra Padmini jauh
dari sini Nyai, kita didik Padmini dengan welas asih.”
“Tapi Ki…”
“Tidak Nyai!” sahut Ki Beksi cepat.
“Tidak akan kubiarkan takdir melukai
cucu ku lagi.” Nyai Menur mengangguk, dia tahu jika yang direncanakan suaminya
adalah yang terbaik.
***
Rumah Joko Aryoko kembali bersinar.
Tangis Sekar Widati membelai senyum Sri lasih. Dengan penuh kasih sayang
seorang ibu, Sri lasih merawat Sekar Widati, yang namanya mereka ganti menjadi
Nantri Wulan. Sepasang suami istri itu berjanji akan menyayangi Nantri Wulan
seperti anak sendiri.
“Gendhuk Wulan jangan takut,
sekarang aku adalah biyungmu, dan Joko Aryoko adalah bopomu.” Joko Aryoko
melihat dari jauh, betapa bahagianya sang istri. Dia berterimakasih pada Sang
Hyang Widhi yang telah menjodohkannya dengan Nantri Wulan.
“Dia sangat cantik kan?” Sri Lasih
terkejut mendengar kedatangan Joko Aryoko. Keduanya saling tatap kemudian
mereka memandang putrinya yang menggeliat.
“Dia anugrah Dewa Kang. Nantri Wulan
adalah hadiah Dewa.” Mata Sri Lasih basah, Joko Aryoko mengecup kening istrinya
lembut.
***
Terik mentari menyengat, membakar
tubuh Pawana yang tergeletak lemas. Dia berusaha bangkit, nyeri disekujur
tubuhnya belum hilang. Kerongkongannya kering, dia merasakan lapar yang sangat.
Pawana mengumpulkan sisa tenaganya untuk menyeret tubuhnya menuju sungai
didekat tempatnya pingsan. Segera dia menceburkan tubuh kedalam sungai yang tak
terlalu deras alirannya. Dia merasakan perih dibeberapa tubuhnya, namun dia
merasa segar ketika mulutnya kemasukan air. Dia berenang ketepi, membersihkan
diri lalu menyandarkan tubuh disebuah pohon besar. Matanya nanar menatap
kelangit, menyaksikan seekor burung melintas. Pawana teringat pada Chandra
Padmini, dia belum sempat menangkap burung emprit untuknya. Airmata menetes,
namun segera dia menguatkan hati. Pawana tidak ingin lemah, dia harus bangkit,
tidak ada waktu untuk menyesali semuanya. Dia harus kuat, agar bisa balas
dendam kepada orang-orang yang telah membunuh orang tua dan adik-adiknya. Dia ingat,
sebelum tak sadarkan diri, dia mendengar Eyang Rego menyebut sebuah nama Sekar
Manyari, dia harus mencari siapa sebenarnya Sekar Manyari, kenapa dia ingin
membunuh keluarganya?
Perut Pawana berbunyi, dia merasakan
lapar. Dia bangkit dan berjalan memasuki hutan, mungkin saja dia bisa menemukan
buah-buahan untuk mengganjal perutnya. Beberapa saat berjalan, Pawana menemukan
sebuah pohon pisang dengan buah yang masak. Ini rejekinya, air liur mulai
mengumpul dirongga mulutnya. Dia mendekati pohon pisang tersebut, berusaha
meraih pisang yang sudah matang, namun tiba-tiba ada sebuah batu yang mengenai
tangannya, lemparan batu itu begitu keras.
“Aduh…” pekik Pawana, dia melihat
sekeliling, tidak ada siapapun. Kemudian dia kembali berusaha meraih pisang.
Sekali lagi batu kecil megenai tangannya.
“Hei! Tunjukan dirimu?! Jangan cuma
berani melempar batu!” Tiba-tiba terdengar suara seorang pria terkekeh,
menggema keseluruh hutan. Dari suaranya pria itu mungkin pria tua.
“Siapa kamu?! Tunjukan dirimu!”
tantang Pawana yang mulai kesal karna perutnya keroncongan.
“Ke ke ke ke ke, apa kamu mencariku
Ngger?” pria tua meloncat dari atas pohon. Pria tersebut sangat tua, tubuhnya
bungkuk dengan memakai kain hitam yang menutupi tubuhnya, Rambutnya kumal,
tangan kanannya memegang tongkat kayu yang panjangnya melebih tubuhnya.
Wajahnya dipenuhi jambang yang hamper memutih semua. Pawana sedikit ciut nyali
menyaksikan penampilan kakek tua tersebut.
“Kenapa Eyang melempar batu kearah
tanganku?” Tanya Pawana. Kakek tua itu terkekeh, mendekati pohon pisang yang
mereka perebutkan.
“Aku sudah menunggu buah pisang ini
masak selama berminggu-minggu, dan tiba-tiba kamu datang untuk menikmatinya,
enak saja?!” ujar Kakek tua itu.
“Bukankah buah pisang itu banyak?
Biarkan aku memakan sedikit saja.” Pinta Pawana, kakek tua itu memandang
Pawana, berjalan mengelilinginya.
“Tidak mau!” Ujar kakek seraya
membuang muka. Pawana kesal melihat tingkak kakek itu yang pelit. Dia melompat
dan akan meraih buah pisang tersebut, namun kakek tua itu menghalanginya dengan
melempar tongkatnya hingga mengenai tubuh Pawana dan terpental. Pawana tidak
menyerah dia bangkit, namun sang kakek melompat menghalanginya, Pawana
menyerang dengan pukulan, kakek itu menangkisnya dan kembali mendorong tubuh
bocah itu hingga jatuh. Kakek tua terkekeh, melihat kegigihan Pawana. Sekali
melompat kakek tua berhasil memetik satu tundun pisang masak kemudian membawa
bersamanya. Kakek tua terduduk sambil menikmati pisang. Pawana yang belum
pulih, ditambah lapar diperutnya hanya bisa memandang lemah dan menelan ludah.
Dia tidak bangkit lagi, dibiarkan tubuhnya rebah diatas tanah, matanya
terpejam.
Baru beberapa saat memejamkan mata,
Pawana merasa ada sesuatu yang jatuh ke tubuhnya. Dia terduduk, mendapati
banyak kulit pisang berserakan. Kakek tua berdiri sembari menyeringai, Pawana
menatap penuh tanda Tanya.
“Kamu lapar bukan? Makanlah!”
perintah kakek tua. Pawana mendelik, bagaimana dia bisa memakan kulit pisang
itu?
“Tidak mau?” Pawana menggeleng.
“Ternyata hanya sebatas itu kekuatan
hatimu.” Ledek Kakek tua.
“Bagaimana kamu bisa menghadapi
mereka yang menyakitimu, jika pada dunia saja kamu sudah putus asa.” Ucap kakek
tua seraya berlalu. Pawana terdiam, matanya memandang kulit pisang itu. Dia
membenarkan ucapan kakek tua. Dia masih lemah, dia tidak bisa menahan
penderitaan sekecil ini, bagaimana dia bisa kuat dan balas dendam. Perlahan
diraihnya kulit pisang itu, dan mengunyahnya sedikit demi sedikit. Matanya
basah, dia kembali teringat pada Ibu, ayah dan saudari-saudarinya.
“Bopo…” Isaknya sambil menelan kulit
pisang.
“Biyung…” airmatanya semakin deras.
“Chandra Padmini, Sekar Widati…”
Tubuh itu jatuh dalam keletihan.
***
Pawana tersadar, matanya terbuka.
Kini badannya tidak merasakan perih, namun berat ditambah ada rasa hangat
disekujur tubuhnya. Dia berusaha menguasai keadaan, matanya terbelalak ketika
sadar mendapati dirinya terbenam dalam tanah, hanya kepalanya saja berada
diatas tanah. Tak jauh dari tempatnya terbenam, kakek tua yang ditemuinya
dihutan sedang duduk bersila diatas bale menikmati buah-buahan sambil sesekali
terkekeh-kekeh.
“Eyang!” panggilnya, si kakek tua
pura-pura mencari suara yang dia dengar.
“Eyang!” teriak Pawana, baru kakek
tua itu menoleh kearah Pawana.
“Oalah, kamu sudah sadar tho?” Kakek
jongkok tepat didepan kepala Pawana.
“Eyang, kenapa aku dikubur seperti
ini?” Kakek tua itu berjalan kembali ke bale-bale, duduk bersila menatap
Pawana.
“Perut bumi akan membantu memulihkan
tubuhmu.” Kekeh Kakek tua.
“Aaagh, bagaimana Eyang bisa
sembarangan menguburku!” Ceracau Pawana, Kakek tua tidak menggubris, dia terus
terkekeh, sesekali berjoget mengejek Pawana.
“Eyang, keluarkan aku!”
“Besok akan aku keluarkan kamu,
sekarang istirahatlah, aku mau tidur!” Kakek tua menguap lebar kemudian
berjalan masuk kedalam gubuk reot. Pawana semakin kesal, dia berniat membalas
perlakuan si kakek tua.
Pagi menjelang, mentari mulai
merayapmenghangatkan tubuh. Pawana sudah terjaga, dia menunggu kakek tua keluar
dari gubuknya. Beberapa saat kemudian keluarlah si kakek tua, ditangan kanannya
membawa tongkat, sedangkan ditangan kiri, dia membawa sebuah baskom yang berisi
kulit pisang.
“Eyang, cepat keluarkan aku!” teriak
Pawana, si kakek tua hanya tersenyum. Dia malah menuangkan kulit pisang yang
ada didalam baskom dihadapan muyka Pawana. Bocah itu terbengong-bengong.
“Eyang! Bukankah kamu telah berjanji
akanm mengeluarkanku hari ini!” cerca Pawana, kakek tua berjongkok.
“Benarkah?” Kakek tua seperti
berpikir.
“Sepertinya aku bilang akan
membebaskanmu besok?” Kakek tua tersenyum sembari berdiri dan pergi, Pawana
kesal mendengarnya.
“Sudahlah, besok aku akan
mengeluarkanmu, sekarang makanlah.” Pawana kembali dibuat bingung dengan
perintah makan dari si kakek tua. Dia menatap kakek tua kemudian mengalihkan
pandangan ke tumpukan kulit pisang. Kakek tua mengangguyk seraya pergi,
kekehannya terdengar keras memecah pagi.
Pawana hanya memandang tumpukan
kulit pisang, perutnya terasa perih. Dia kembali teringat pada sang Ibu,
masakan-masakan lezat yang pernah dimasakan Lastri berputar diatas kepalanya.
Matanya basah, dengan hati yang berat dia memakan kulit pisang sembari
membayangkan masakan Lastri yang sangat lezat. Kunyahan pertama dia
membayangkan sayur lodeh, kunyahan kedua dia membayangkan sayur asam, kunyahan
ketiga dia membayangkan sayur bayam, hingga airmatanya menganak sungai. Tanpa
disadari Pawana, dari jauh kakek tua memperhatikannya dengan mata nanar,
hatinya trenyuh dengan keadaan Pawana. Dia juga heran kenapa bocah seperti
Pawana masih bisa bertahan lama setelah terkena ajian andalas.
***
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan jejak-jejak cinta anda pada blog ini.
Makasih, Matursuwun!!!!!