Part 1 - Cahaya Gelap



Disebuah pendopo rumah, duduk seorang pria dikelilingi banyak bocah. Ditangannya sibuk membuat keris-kerisan dari janur. Beberapa bocah memandang takjub kepiawaian pria tersebut. Namanyanya Patih Darwiseno, beberapa hari ini dia tinggal dirumah, sengaja ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama putranya Pawana yang berumur sepuluh tahun, juga putrinya yang menginjak usia tujuh tahun.
Seorang pria berjalan perlahan menghampiri Darwiseno. Tubuhnya tinggi tegap, kumisnya tebal dengan brewok yang menutupi dagu dan sebagian pipinya, dia tertawa sambil mengelus jenggotnya.
“Hahahahaha, Sepertinya pekerjaan barumu ini lebih menarik Ngger.” Suaranya yang besar membahana.
“Paman Beksi!” Seru Darwiseno, dia menyambut pria yang dianggapnya sebagai ayah dengan pelukan.
“Eyang Beksi!” Teriak Pawana, segera bocah itu berlari menghambur kepelukan eyangnya.
“Hahahaha, cucuku ini tampak semakin gagah saja.” Puji Ki Beksi seraya mencengkram pundak Pawana.
“Ayo Ngger, Eyang ingin melihat apa kamu berlatih dengan baik.” Segera dua pria beda generasi itu bersiap dipelataran rumah. Para abdi dan dayang berkerumun, ingin melihat pertarungan putra junjungan mereka. Pawana, meski masih bocah, dia dikenal memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni untuk seusianya. Bagaimana tidak, Ayahnya yang seorang patih, sudah melatih bocah itu sedari berumur lima tahun.
Ki Beksi dan Pawana berdiri jauh saling berhadapan. Ki Beksi melempar sebuah ranting sebagai ganti keris. Pawana mengayunkan ranting itu, menyerang lebih dahulu kearah Ki Beksi. Pria tua itu meloncat mundur, menghindari serangan cucunya. Pawana kemudian menyerang tubuh bagian kanan, Ki Beksi menghindar kekiri lalu meloncat hingga kebelakang Pawana. Keduanya saling serang, namun Pawana belum bisa mengenai tubuh Ki  Beksi.
“Berhenti!” Pawana bersungut-sungut, Ki Beksi mendekat.
“Ada apa Ngger?”
“Eyang hanya menghindar dari tadi, kapan kita bertarung?” Ki Beksi tertawa keras.
“Hahahaha, Baiklah kalo itu keinginanmu, bersiaplah Ngger!” teriak Ki Beksi, pria itu bersiap menyerang Pawana. Satu serangan belum membuat Pawana kewalahan, namun ketika tangan Ki Beksi mendorong pundak kirai Pawana, bocah itu terjengkang. Belum sempat berdiri, Ki Beksi kembali mengarahkan kepalannya, dengan bertumpu pada tangan Pawana melompat, menghindar. Nafasnya tersengal. Dia menyerang dengan kepalannya, namun berhasil ditangkis Ki Beksi, ditarik tangan mungil itu kebelakang lalu didorongnya hingga terjerembab.
“Cukup…cukup, Eyang Beksi memang hebat.” Pawana berdiri, membersihkan tubuhnya dari debu yang menempel. Ki Beksi membantu bocah itu kemudian menepuk pundak cucunya.
“Bagaimana Eyang bisa sehebat itu?” Ki Beksi tersenyum bijak, dia berlutut dihadapan Pawana, membenarkan letak iket kepalanya.
“Kamu akan hebat, jika hatimu juga hebat.” Pawana mengernyitkan kedua alisnya.
“Kamu harus melawan nafsu angkara dihatimu dahulu, maka kamu akan menjadi hebat.” Pawana mengangguk mengerti, Ki Beksi menatap Darwiseno, pria itu tertunduk.
“Pawana, minta biyungmu memasak makanan yang enak untuk Eyang.” Pawana mengangguk, bocah itu langsung berlari kedalam rumah sembari memanggil biyungnya. Ki Beksi berdiri, dia mendekati Darwiseno. Mereka memutuskan untuk berjalan-jalan keliling desa.
“Paman, Prabu Damar Bhahureksao tidak mengijinkan aku mundur.” Beksi tersenyum, matanya menelisik jalanan desa.
“Aku ini hanya pria tua, apa yang kamu ingin dengar?” Darwiseno menatap lemah Ki Beksi.
“Bukankah semua keputusan ada ditanganmu?” Ki Beksi sama sekali tidak menatap wajah Darwiseno.
“Semakin aku bertahan, semakin aku merasa bersalah pada rakyat kerajaan Pangkalarung, aku juga semakin kehilangan diriku sendiri.” Suara Darwiseno lemah, keduanya menghentikan langkah, Ki Beksi menepuk pundak Darwiseno.
“Lalu apa kamu tega mebiarkan rakyatmu seperti itu?” Ki Beksi menunjuk kerumunan warga yang sedang berdiri didepan lumbung desa, mereka antri demi sejimpit beras yang dijanjikan kerajaan untuk membantu rakyat yang terkena bencana dan musim paceklik. Setiap hari mereka harus antri, meski ditengah hari mereka harus kecewa karna petugas selalu mengatakan persediaan beras habis untuk hari itu, dan akan ada beras lagi keesokan hari. Melihat wajah-wajah kecewa warga desa, Darwiseno seperti tercekat, dia merasa tercabik melihatnya.
“Apa yang harus saya lakukan Paman? Bahkan Gusti Ratu sebagai kepala Istana Njero tidak mampu menyentuh penghuni Wulan Ndadari, bagaimana dengan aku?” Darwiseno terdengar putus asa.
“Wulan Ndadari terlalu sulit ditembus, Sekar Manyari terlalu banyak orang disekelilingnya.”  Ki Beksi terdiam, tiba-tiba matanya terpejam. Ketika matanya terbuka, dia melihat sebuah cahaya jatuh dari langit tepat dirumah Darwiseno.
“Kanjeng Patih!” Ki Beksi dan Darwiseno membalikkan badan, seorang prajurit berlari tergopoh-gopoh.
“Kanjeng Patih, Ndoro Ayu akan melahirkan.” Lapor prajurit, Ki Beksi dan Darwiseno bertatapan, kemudian berlari menuju rumah.
***
Kebahagiaan dirumah Darwiseno kembali terpancar, Lastri istrinya melahirkan seorang putri kembali. Seperti Chandra Padmini, bayi yang diberi nama Sekar Widati ini juga mempunyai tanda lahir dileher bagian belakang kuping sebelah kanan. Jika Chandra Padmini berupa gambar bulan sabit, maka Sekar Widati berupa gambar bintang.
“Bopo, apakah ini pertanda aku dan adik tidak dapat dipisahkan?” Darwiseno tersenyum, dia menyentuh pundak anak keduanya.
“Kakangmu, kamu dan Sekar Widati, kalian tidak akan pernah terpisahkan.” Lastri yang masih terbaring diatas ranjang tersenyum haru mendegarnya. Ki Beksi yang mendengarnya dibalik pintu terlihat sedih, matanya berair.

***
Harta, tahta dan wanita, untuk yang terakhir seorang perempuan bernama Sekar Manyari tahu betul bagaimana memanfaatkan karunia Sang yang Widhi menjadi komoditas berharga bagi dirinya. Dengan kecantikannya dia berhasil membuat Damar Bhahurekso bertekut lutut dikakinya. Bahkan kecerdasaanya mampu mempengaruhi ekosistem pria yang ada diseluruh kekuasaan istana njaba. Kini bahkan Ratu Dyah Aloka tidak mampu berbuat apapun. Sebagai Kepala Istana Njero, dia sudah tidak dianggap, Prabu Damar Bhahurekso bahkan memintanya untuk tidak ikut campur urusan Sekar Manyari.
“Kanjeng Selir, Kepala Urusan Bhayangkara datang berkunjung.” Lapor seorang dayang. Sekar Manyari meminta Embannya menyambut Rego Kammada dan mempersilahkannya masuk.
“Senang sekali Paman Rego datang berkunjung.” Sambut Sekar Manyari. Keduanya duduk diruang tamu kediaman Wulan Ndadari. Beberapa dayang mempersiapkan makanan kecil buah dan wedang jahe.
“Ada apa Paman kemari?”  Rego Kammada menelangkupkan kedua tangan didepan dadanya.
“Ampun Kanjeng Selir, hamba mengganggu istirahat Kanjeng.” Sekar Manyari tersenyum. Senyum maut inilah yang membuat semua pria tidak mampu menolaknya.
“Paman Rego jangan sungkan, aku tahu, Paman punya hal penting yang ingin disampaikan.”
“Kanjeng Selir, hamba mohon maaf sekali lagi, sebab hamba tidak mampu melaksanakan perintah Kanjeng Selir dengan baik?” Sekar Mayari mengernyitkan kening.
“Semenjak desas-desus tentang mundurnya Patih Darwiseno, seluruh prajurit tampak gelisah, jika kita tidak mampu mempertahankan Patih Darwiseno, hamba takut kita tidak mampu menguasai bhayangkara kerajaan.”
BRAAAAAAK.
Sekar Manyari menggebrak meja, Rego sedikit terlonjak, mata perempuan itu hamper copot.
“Bagaimana Patih kurang ajar itu bisa berpengaruh banyak kepada prajurit?! Bukankah kamu sebagai kepala urusan bhayangkara yang lebih berwenang?!” teriak Sekar Manyari.
“Ampun Kanjeng Selir, bagaimanapun Patih Darwiseno lah yang mampu membangkitkan semangat juang para prajurit, dialah yang paling mengerti keadaan prajurit.” Sekar Manyari semakin marah, wajahnya merah padam, Rego tidak berani mengangkat kepalanya.
“Ini tidak akan aku biarkan, dia harus jatuh! Dia harus jatuh!” jemari Sekar Manyari mengepal, kemudian sebuah senyum licik menghias dibibirnya.
“Paman Rego, segera laksanakan perintahku, hancurkan Darwiseno sekarang juga!” Rego mengerti, dia segera undur diri untuk mempersiapkan prajurit.
Sekar Manyari tidak akan pernah membiarkan seekor lalatpun menghalangi rencananya, apalagi seorang Darwiseno. Dia akan menghancurkan pria malang itu.
“Maafkan aku Kakang Darwiseno, kamu menolakku mentah-mentah, maka aku harus bertindak kejam.” Tak terasa airmata jatuh dipipinya. Tanpa orang tahu, sebenarnya perasaan Sekar Manyari begitu dalam pada Patih Darwiseno.
Pertama kali dia bertemu Patih Darwiseno, ketika dia mengawal Prabu Damar Bhahurekso menuju sebuah hutan untuk berburu. Saat itu Sekar Manyari berusia 17 tahun, dan dia sedang berlatih menari dipinggir sungai.
Ketika ketiganya bertemu Sekar Manyari langsung jatuh hati pada Patih Darwiseno. Namun hatinya harus patah ketika mengetahui Patih Darwiseno sudah beristri dan mempunyai dua buah hati. Hingga datang lamaran Prabu Damar Bhahurekso, Sekar Manyari menjadi berambisi. Dia pikir, jika mampu menguasai kerajaan, dia bisa menguasai Darwiseno.
Perkiraan Sekar Manyari salah, Patih Darwiseno membenci semua tindakannya, dia menjadi pria pertama yang menentang semua rencananya dan tetap setia pada keluarganya.
“Emban, perintahkan pada Paman Rego, bunuh keluarga Patih Darwiseno, tapi bawa hidup-hidup pria itu kehadapanku!” perintah Sekar Manyari dengan amarah yang dipendamnya.
***
Keluarga bahagia Darwiseno menikmati sore yang begitu indah, mungkin sore terakhir mereka untuk bersama-sama. Karna selanjutnya secerah apapun mentari, semua akan menjadi gelap bagi Pawana, Chandra Padmini dan Sekar Widati.
Chandra Padmini berlarian bersama Pawana, sesekali terlihat Pawana mengejek adiknya dengan menjulurkan lidahnya. Ditangga pendopo, duduk Darwiseno dan Lastri yang menggendong Sekar Widati. Sesekali bayi mungil itu menggeliat resah, sepertinya dia tahu apa yang akan terjadi pada ibu dan saudara-saudaranya.
“Dinda, terimakasih atas semua yang kamu berikan padaku.” Ucap Darwiseno.
“Kakang kenapa? Bukankah semua ini sudah kewajibanku sebagai istri kakang?” Darwiseno membelai pipi Lastri, perempuan itu malah terharu dan menangis.
“Seharusnya aku yang berterimakasih, karna Kakang sudah menjadi suami yang baik, rasanya apa yang aku lakukan belum cukup mengganti kebaikan Kakang.”
“Dinda Lastri,” Darwiseno merengkuh pundak istrinya, mereka kemudian menatap keceriaan buah hatinya.
Malam merapat, suara alam syahdu menghibur jiwa-jiwa yang mulai lelah setelah sehari mengejar mentari. Lastri mencium kening Pawana dan Chandra Padmini yang terlelap karna lelah bermain. Sekar Widati pun telah memejamkan mata, kini kelelahan merayap ditubuh Lastri. Perempuan itu keluar kamar, didapatinya sang suami termenung, berdiri didepan jendela, entah karna bulan yang bulat indah atau pikiran yang bergelayut penuh tikai. Lastri menyentuh lembut pundak suaminya. Darwiseno menoleh, senyum terkembang mendapati penyejuk hatinya berdiri disisinya. Direngkuh pundak istrinya kedalam dekapan dada bidangnya.
“Apa yang Kakang pikirkan?” ucap Lastri sembari melingkarkan pinggang kepinggang suaminya.
“Aku merasa takut Dinda.” Pria setangguh Darwiseno yang bisa melibas musuh dalam satu sabetan, merasakan takut malam itu, semakin erat Lastri memeluk.
“Kakang…” bisik Lastri.
“Maafkan aku yang melibatkanmu juga anak-anak dalam masalah ini. Aku merasa sesuatu akan terjadi.”
“Kang?” Lastri mengangkat kepalanya. Ditatapnya nanar mata sang suami.
“Besok pagi, aku akan mengirimmu ke tempat paman Beksi.”
“Aku akan tetap disini Kang.”
“Tidak, kamu akan pergi dari sini, anak-anak kita lebih membutuhkanmu.”
“Tapi Kang, aku tidak bisa mengingkari darmaku sebagai seorang istri untuk tetap disampingmu dalam suka maupun duka.”
“Darmamu tidak terlanggar Dinda, ketulusanmu akan selalu mendampingiku.” Lastri masih ingin membantah, namun terdengar kegaduhan dari luar rumah. Darwiseno meminta Lastri membangunkan anak-anak dan pergi lewat pintu belakang.
Darwiseno keluar, terlihat beberapa pendekar bercadar telah menumbangkan prajurit yang menjaga rumahnya.
“Siapa kalian?!” pendekar-pendekar itu tidak menjawab malah menyerang Darwiseno. Pria itu melompat mundur menghindari tebasan keris yang mengarah kepadanya. Ilmu kanuragan pendekar-pendekar itu cukup tinggi, terbukti Darwiseno cukup kewalahan meladeni mereka. Beberapa kali serangan, Darwiseno cukup lelah, dia harus terus menghindar, melompat kesana kemari. Ketika menghadapi satu pendekar, dari belakang dia diserang oleh pendekar lainnya, begitu dari samping kanan dan kiri. Lengan Darwiseno tergores keris, darah mengucur. Darwiseno mengeluarkan ajian tapak irang, sebuah ajian yang akan melumpuhkan organ tubuh orang yang terkena, pendekar-pendekar itu terpental, namun terlihat seorang pendekar berhasil bangun dan menyerang dada Darwiseno dengan ajian gondang lanang, ajian yang melumpuhkan tubuh, seolah tak punya tenaga jika terkena ajian ini. Tubuh Darwiseno lemas, dia seperti tak punya tenaga untuk bangkit, dia jatuh pingsan.
Ketika-pendekar-pendekar itu berhasil mebawa Darwiseno pergi, Lastri sekuat tenaga menggendong Sekar Widati dan lari bersama Pawana dan Chandra Padmini. Pawana sesekali menenangkan Chandra Padmini yang menangis ketakutan. Mereka berlari memasuki hutan, tiba-tiba terlihat bayangan yang terbang diatas mereka, menyibak ranting-ranting pohon.
“Mau kemana cah ayu?” Suara itu menggelegar memecah sunyi, Lastri mendekap ketiga buah hatinya.
“Ku mohon Paman, lepaskan kami.” Isak Lastri, pria itu yang tak lain Rego Kammada hanya tertawa menggelegar. Keberanian muncul dilubuk hati Pawana, tangan-tangan kecil itu menyerang Rego Kammada. Terang saja tubuh kecil itu bukan tandingan Rego, sekali pukul tubuh itu terpental jauh.
“Pawana!” Pekik Lastri.
“Kang Pawana?” Chandra Padmini menghampiri tubuh kakaknya yang terbujur kaku.
“Sebenarnya aku tidak tega membunuh kalian, mengingat betapa baiknya suamimu padaku, tapi ini semua adalah titah Kanjeng Selir Sekar Manyari.” Ujar Rego, Lastri terbelalak mendengarnya.
“Maafkan aku Lastri.” Rego bersiap menghunuskan kerisnya, namun tiba-tiba tubuhnya terpental. Seseorang keluar dari kegelapan hutan.
“Eyang Beksi.” Ucap Chandra Padmini, dia berlari menghampiri Beksi. Pria itu meminta Chandra Padmini menyingkir. Kini Beksi menghadapi Rego yang memegang dadanya yang sakit.
“Ketek Ogleng! Siapa kamu?! Berani-beraninya melawanku!”
“Aku bukan siapa-siapa, aku hanya ingin menyelamatkan menantu dan cucuku.”  Beksi tertawa sinis.
“Kurang ajar!” Rego menyerang kearah Beksi dengan sebilah keris, Beksi menangkisnya, kemudian memukul bawah ketiak Rego lalu membantingnya ketanah, Rego meringis kesakitan. Beksi segera menghampiri Lastri yang ketakutan.
“Paman Beksi…” Lastri tidak dapat menahan tangisnya.
“Tenang Ngger, aku akan melindungimu.” Beksi membantu Lastri berdiri, tepat saat Lastri melihat rego bangkit dan menyerang Beksi. Perempuan itu mendorong Beksi dan menjadi tameng ajian andalas yang meremukkan tubuh Lastri. Sekar Widati yang ada digendongannya pun terjatuh ketanah, Lastri tewas, dan begitupun Sekar Widati.
Dengan amarah yang besar, Beksi menghantam tubuh Rego dengan ajian ganesha nya. Rego jatuh, tubuhnya bersimbah darah.
Beksi terduduk menyaksikan mayat-mayat yang tergeletak didepannya. Terdengar suara teriakan dari jauh. Terlihat juga obor-obor yang mulai menerangi hutan. Beksi bangkit, diraihnya tubuh Chandra Padmini.
“Eyang, Kang Pawana dan Sekar Widati.” Isak Chandra Padmini.
“Kita pergi Nduk, jika memungkinkan, kita akan kembali dan mengubur mereka dengan layak.” Ucapan Beksi terasa meyakinkan meski dia sendiri ragu, apa bisa mereka kembali.
Prajurit datang tepat setelang kepergian Beksi. Mereka menemukan mayat Rego tergeletak mengenaskan. Joko Aryoko, pemimpin pasukan melihat sekar Widati tergeletak disisi Lastri, pria itu melihat Sekar Widati menggeliat. Kehilangan janin dari kandungan istrinya sangat menyakitkan bagi Joko Aryoko dan Sri Lasih, melihat bayi Sekar Widati rasa welas asih itu timbul, dia akan membawa pulang Sekar Widati.
“Prajurit! Tinggalkan tempat ini, sepertinya tidak ada yang selamat lagi!” Joko Aryoko memerintahkan prajurit mundur, Joko Aryoko pulang bersama Sekar Widati.
Lalu bagaimana nasib Pawana? Benarkah dia mati? Tidak! Sepeninggal Joko Aryoko dan para prajurit, dia tersadar. Seluruh tubuhnya nyeri. Dia mencoba bangkit, mencari Ibu dan adik-adiknya. Dia putus asa melihat tubuh Ibunya yang telah kaku.
“Biyung…” Pawana memeluk jasad Ibunya. Tubuh kecil itu, sekuat tenaga mengubur jasad ibunya dengan layak. Purnama seakan tak mampu menjadi penerang dihati Pawana yang mulai mengeras, sahutan burung dimalam hari tak menyusutkan sisa tenaganya untuk berusaha melayakkan mayat Ibunya. Airmatanya terus menganak sungai, bahkan hujan pun akan kalah deras dengan perih batinnya.
“Biyung, Bopo, saya tidak akan hidup mewah hingga dendam kalian terbalaskan!” setelah mengatakan kalimat itu, tubuh kecilnya tergeletak lemas. Begitu banyak dera yang menimpanya kini dia lelah.
***
Kehidupan harus terus berjalan, meski tanpa cahaya yang akan menerangi setiap langkah kaki. Namun Chandra Padmini tidak dapat menerima hal itu. Tubuhnya jatuh, sudah dua hari badannya panas dan tak sadarkan diri. Dalam tidurnya, dia selalu mengigau memanggil orang tua dan saudara-saudaranya. Nyai Menur memandang nanar tubuh gadis itu, Ki Beksi dan Nyai Menur hamper dua hari tidak tidur karna menjaga bocah perempuan yang amat mereka sayangi.
“Nyai, bagaimana keadaan gendhuk?” Ki Beksi menyentuh pundak istrinya, Nyai Menur terlonjak. Wanita paruh baya itu hanya menggeleng lemah. Ki Beksi duduk ditepi ranjang, menyentuh jemari mungil Chandra Padmini.
“Kasihan gendhuk, dia harus kehilangan orang-orang yang paling dekat dengannya diusia yang sangat muda.” Ujar Nyai Menur seraya mengganti kain basah yang diletakkan dikening Chandra Padmini.
“Bopo, Biyung…” Chandra Padmini mengigau kembali.
“Padmini… Chandra Padmini?” Ki Beksi mendekatkan wajahnya. Mata Padmini terbuka, basah oleh airmata yang tumpah.
“Eyang Beksi, Nyai Menur?” Chandra Padmini menatap bergantian Ki Beksi dan Nyai Menur, keduanya bertatapan dan tersenyum. Nyai Menur membantu Chandra Padmini bangun dari tidurnya, Ki Beksi mengambilkan ramuan obat untuk gadis itu. Keduanya membantu Chandra Padmini meminum ramuan obat. Bocah itu meringis karna kepahitan. Tiba-tiba dia teringat saat Ibunya, Lastri selalu menghiburnya tiap harus meminum jamu ketika sakit. Saat Chandra Padmini ngambek, maka Lastri akan membuat mimik lucu supaya dia tersenyum.
Ki Beksi dan Nyai Menur hanya menghela napas melihat cucunya menangis kembali.
“Bukan saatnya menangis Nduk, bangkitlah, masih banyak kehidupan yang harus kamu jalani.” Tangis Chandra Padmini pecah, Nyai Menur merengkuhnya dalam pelukan.
“Menangislah hari ini, besok saatnya kamu harus bangkit.” Ujar Nyai Menur sembari menepuk-nepuk pundak Chandra Padmini.
***
Chandra Padmini mulai tenang, dia tidur tanpa mengigau kembali. Nyai Menur menyelimuti tubuh bocah itu lalu mencium keningnya. Wanita tersebut berjalan keluar rumah, mendapati suaminya duduk bersila diatas bale-bale, Nyai Menur duduk mendekat.
“Apa rencanamu Ki?” Ki Beksi menghela napas, menatap istrinya dengan keraguan. Ki Beksi tidak punya rencana apapun, kejadian ini merenggut logika pikirannya. Bayangan masa depan yang dia terima membuatnya bingung, dia sudah berusaha menolong ketiga buah hati Darwiseno, tapi tetap saja gagal. Meski dia kembali untuk mengubur mayat Lastri, Pawana dan Sekar Widati, tapi usahanya sia-sia, tubuh-tubuh itu tak ada jejaknya. Mungkinkah bayangan masa depan itu akan terjadi. Haruskan ditangan Chandra Padmini darah tertumpah kembali? Tidak, Ki Beksi tidak akan membiarkan Chandra Padmini menjadi perempuan kejam seperti Sekar Manyari. Biarkan dendam itu terputus sejak dari sini.
“Akan kita bawa Chandra Padmini jauh dari sini Nyai, kita didik Padmini dengan welas asih.”
“Tapi Ki…”
“Tidak Nyai!” sahut Ki Beksi cepat.
“Tidak akan kubiarkan takdir melukai cucu ku lagi.” Nyai Menur mengangguk, dia tahu jika yang direncanakan suaminya adalah yang terbaik.
***
Rumah Joko Aryoko kembali bersinar. Tangis Sekar Widati membelai senyum Sri lasih. Dengan penuh kasih sayang seorang ibu, Sri lasih merawat Sekar Widati, yang namanya mereka ganti menjadi Nantri Wulan. Sepasang suami istri itu berjanji akan menyayangi Nantri Wulan seperti anak sendiri.
“Gendhuk Wulan jangan takut, sekarang aku adalah biyungmu, dan Joko Aryoko adalah bopomu.” Joko Aryoko melihat dari jauh, betapa bahagianya sang istri. Dia berterimakasih pada Sang Hyang Widhi yang telah menjodohkannya dengan Nantri Wulan.
“Dia sangat cantik kan?” Sri Lasih terkejut mendengar kedatangan Joko Aryoko. Keduanya saling tatap kemudian mereka memandang putrinya yang menggeliat.
“Dia anugrah Dewa Kang. Nantri Wulan adalah hadiah Dewa.” Mata Sri Lasih basah, Joko Aryoko mengecup kening istrinya lembut.
***
Terik mentari menyengat, membakar tubuh Pawana yang tergeletak lemas. Dia berusaha bangkit, nyeri disekujur tubuhnya belum hilang. Kerongkongannya kering, dia merasakan lapar yang sangat. Pawana mengumpulkan sisa tenaganya untuk menyeret tubuhnya menuju sungai didekat tempatnya pingsan. Segera dia menceburkan tubuh kedalam sungai yang tak terlalu deras alirannya. Dia merasakan perih dibeberapa tubuhnya, namun dia merasa segar ketika mulutnya kemasukan air. Dia berenang ketepi, membersihkan diri lalu menyandarkan tubuh disebuah pohon besar. Matanya nanar menatap kelangit, menyaksikan seekor burung melintas. Pawana teringat pada Chandra Padmini, dia belum sempat menangkap burung emprit untuknya. Airmata menetes, namun segera dia menguatkan hati. Pawana tidak ingin lemah, dia harus bangkit, tidak ada waktu untuk menyesali semuanya. Dia harus kuat, agar bisa balas dendam kepada orang-orang yang telah membunuh orang tua dan adik-adiknya. Dia ingat, sebelum tak sadarkan diri, dia mendengar Eyang Rego menyebut sebuah nama Sekar Manyari, dia harus mencari siapa sebenarnya Sekar Manyari, kenapa dia ingin membunuh keluarganya?
Perut Pawana berbunyi, dia merasakan lapar. Dia bangkit dan berjalan memasuki hutan, mungkin saja dia bisa menemukan buah-buahan untuk mengganjal perutnya. Beberapa saat berjalan, Pawana menemukan sebuah pohon pisang dengan buah yang masak. Ini rejekinya, air liur mulai mengumpul dirongga mulutnya. Dia mendekati pohon pisang tersebut, berusaha meraih pisang yang sudah matang, namun tiba-tiba ada sebuah batu yang mengenai tangannya, lemparan batu itu begitu keras.
“Aduh…” pekik Pawana, dia melihat sekeliling, tidak ada siapapun. Kemudian dia kembali berusaha meraih pisang. Sekali lagi batu kecil megenai tangannya.
“Hei! Tunjukan dirimu?! Jangan cuma berani melempar batu!” Tiba-tiba terdengar suara seorang pria terkekeh, menggema keseluruh hutan. Dari suaranya pria itu mungkin pria tua.
“Siapa kamu?! Tunjukan dirimu!” tantang Pawana yang mulai kesal karna perutnya keroncongan.
“Ke ke ke ke ke, apa kamu mencariku Ngger?” pria tua meloncat dari atas pohon. Pria tersebut sangat tua, tubuhnya bungkuk dengan memakai kain hitam yang menutupi tubuhnya, Rambutnya kumal, tangan kanannya memegang tongkat kayu yang panjangnya melebih tubuhnya. Wajahnya dipenuhi jambang yang hamper memutih semua. Pawana sedikit ciut nyali menyaksikan penampilan kakek tua tersebut.
“Kenapa Eyang melempar batu kearah tanganku?” Tanya Pawana. Kakek tua itu terkekeh, mendekati pohon pisang yang mereka perebutkan.
“Aku sudah menunggu buah pisang ini masak selama berminggu-minggu, dan tiba-tiba kamu datang untuk menikmatinya, enak saja?!” ujar Kakek tua itu.
“Bukankah buah pisang itu banyak? Biarkan aku memakan sedikit saja.” Pinta Pawana, kakek tua itu memandang Pawana, berjalan mengelilinginya.
“Tidak mau!” Ujar kakek seraya membuang muka. Pawana kesal melihat tingkak kakek itu yang pelit. Dia melompat dan akan meraih buah pisang tersebut, namun kakek tua itu menghalanginya dengan melempar tongkatnya hingga mengenai tubuh Pawana dan terpental. Pawana tidak menyerah dia bangkit, namun sang kakek melompat menghalanginya, Pawana menyerang dengan pukulan, kakek itu menangkisnya dan kembali mendorong tubuh bocah itu hingga jatuh. Kakek tua terkekeh, melihat kegigihan Pawana. Sekali melompat kakek tua berhasil memetik satu tundun pisang masak kemudian membawa bersamanya. Kakek tua terduduk sambil menikmati pisang. Pawana yang belum pulih, ditambah lapar diperutnya hanya bisa memandang lemah dan menelan ludah. Dia tidak bangkit lagi, dibiarkan tubuhnya rebah diatas tanah, matanya terpejam.
Baru beberapa saat memejamkan mata, Pawana merasa ada sesuatu yang jatuh ke tubuhnya. Dia terduduk, mendapati banyak kulit pisang berserakan. Kakek tua berdiri sembari menyeringai, Pawana menatap penuh tanda Tanya.
“Kamu lapar bukan? Makanlah!” perintah kakek tua. Pawana mendelik, bagaimana dia bisa memakan kulit pisang itu?
“Tidak mau?” Pawana menggeleng.
“Ternyata hanya sebatas itu kekuatan hatimu.” Ledek Kakek tua.
“Bagaimana kamu bisa menghadapi mereka yang menyakitimu, jika pada dunia saja kamu sudah putus asa.” Ucap kakek tua seraya berlalu. Pawana terdiam, matanya memandang kulit pisang itu. Dia membenarkan ucapan kakek tua. Dia masih lemah, dia tidak bisa menahan penderitaan sekecil ini, bagaimana dia bisa kuat dan balas dendam. Perlahan diraihnya kulit pisang itu, dan mengunyahnya sedikit demi sedikit. Matanya basah, dia kembali teringat pada Ibu, ayah dan saudari-saudarinya.
“Bopo…” Isaknya sambil menelan kulit pisang.
“Biyung…” airmatanya semakin deras.
“Chandra Padmini, Sekar Widati…” Tubuh itu jatuh dalam keletihan.
***
Pawana tersadar, matanya terbuka. Kini badannya tidak merasakan perih, namun berat ditambah ada rasa hangat disekujur tubuhnya. Dia berusaha menguasai keadaan, matanya terbelalak ketika sadar mendapati dirinya terbenam dalam tanah, hanya kepalanya saja berada diatas tanah. Tak jauh dari tempatnya terbenam, kakek tua yang ditemuinya dihutan sedang duduk bersila diatas bale menikmati buah-buahan sambil sesekali terkekeh-kekeh.
“Eyang!” panggilnya, si kakek tua pura-pura mencari suara yang dia dengar.
“Eyang!” teriak Pawana, baru kakek tua itu menoleh kearah Pawana.
“Oalah, kamu sudah sadar tho?” Kakek jongkok tepat didepan kepala Pawana.
“Eyang, kenapa aku dikubur seperti ini?” Kakek tua itu berjalan kembali ke bale-bale, duduk bersila menatap Pawana.
“Perut bumi akan membantu memulihkan tubuhmu.” Kekeh Kakek tua.
“Aaagh, bagaimana Eyang bisa sembarangan menguburku!” Ceracau Pawana, Kakek tua tidak menggubris, dia terus terkekeh, sesekali berjoget mengejek Pawana.
“Eyang, keluarkan aku!”
“Besok akan aku keluarkan kamu, sekarang istirahatlah, aku mau tidur!” Kakek tua menguap lebar kemudian berjalan masuk kedalam gubuk reot. Pawana semakin kesal, dia berniat membalas perlakuan si kakek tua.
Pagi menjelang, mentari mulai merayapmenghangatkan tubuh. Pawana sudah terjaga, dia menunggu kakek tua keluar dari gubuknya. Beberapa saat kemudian keluarlah si kakek tua, ditangan kanannya membawa tongkat, sedangkan ditangan kiri, dia membawa sebuah baskom yang berisi kulit pisang.
“Eyang, cepat keluarkan aku!” teriak Pawana, si kakek tua hanya tersenyum. Dia malah menuangkan kulit pisang yang ada didalam baskom dihadapan muyka Pawana. Bocah itu terbengong-bengong.
“Eyang! Bukankah kamu telah berjanji akanm mengeluarkanku hari ini!” cerca Pawana, kakek tua berjongkok.
“Benarkah?” Kakek tua seperti berpikir.
“Sepertinya aku bilang akan membebaskanmu besok?” Kakek tua tersenyum sembari berdiri dan pergi, Pawana kesal mendengarnya.
“Sudahlah, besok aku akan mengeluarkanmu, sekarang makanlah.” Pawana kembali dibuat bingung dengan perintah makan dari si kakek tua. Dia menatap kakek tua kemudian mengalihkan pandangan ke tumpukan kulit pisang. Kakek tua mengangguyk seraya pergi, kekehannya terdengar keras memecah pagi.
Pawana hanya memandang tumpukan kulit pisang, perutnya terasa perih. Dia kembali teringat pada sang Ibu, masakan-masakan lezat yang pernah dimasakan Lastri berputar diatas kepalanya. Matanya basah, dengan hati yang berat dia memakan kulit pisang sembari membayangkan masakan Lastri yang sangat lezat. Kunyahan pertama dia membayangkan sayur lodeh, kunyahan kedua dia membayangkan sayur asam, kunyahan ketiga dia membayangkan sayur bayam, hingga airmatanya menganak sungai. Tanpa disadari Pawana, dari jauh kakek tua memperhatikannya dengan mata nanar, hatinya trenyuh dengan keadaan Pawana. Dia juga heran kenapa bocah seperti Pawana masih bisa bertahan lama setelah terkena ajian andalas. 
***

0 komentar:



Posting Komentar

Mohon tinggalkan jejak-jejak cinta anda pada blog ini.
Makasih, Matursuwun!!!!!