Koreksi Hidup

Kalo ditanya lebih sakit mana sakit gigi apa sakit karna memendam cinta atau sakit patah hati? Aku akan menjawab lebih sakit memendam rasa. Sakitnya hingga ke ulu hati, sakitnya hingga ke lambun, sakitnya hina pening kepala. Aku bukan curhat, tapi ini benar. Patah hati, munkin aku bisa menahannya, nangis sehari dua hari udah lega, ya paling lama seminggu lah. Tapi kalo sakit memendam cinta, wuih perihnya puoool. Lihat sakit, nggak liat sakit rindu, disapa gregetan, nggak disapa, aduh keselnya minta ampun. Ya itu deh, cemburu tapi nggak boleh. La gimana mau cemburu, orang yang digandeng, yang dipeluk, yang di sun, istri dia sendiri. 
“Kamu cemburu lagi? Ayolah Sa, dia istriku, aku nggak bisa dong nyuekin dia, aku harus utamain rumahku, istriku, anak-anakku” Ujar Setyo padaku saat berkunjung dirumahku. Dia merebahkan tubuhnya diatas ranjang, aku memandangi pria itu, yang kata Sheila on 7, sephia. Dia melihatku yang sedang menyisir rambut panjangku. Aku memandangi wajahku, pantas pria itu bisa menyukaiku, wajahku tak kalah cantik dengan istrinya meski aku hanya tau lewat foto saja. Setyo lebih suka mengajakku untuk menemui kolega-koleganya, ketimbang pergi dengan istrinya yang sering dia sebut sebagai ibu anak-anak.
“Kamu makin cantik saja” pujinya. Pria ini memang pandai merayu. Rayuannya mampu membuatku bertekuk lutut padanya, hingga pernikahan siri nya aku terima. 
Apa aku jahat? Setiap orang yang mengetahui hubungan kami. Selalu menuduhku sebagai perusak rumah tangga orang, perebut suami, bahkan mengatakan pelacur. Benarkah aku seperti itu? Salah siapa coba jika seorang suami tidak betah tinggal dirumah karna istri sering ngomel, istri tak seperti dulu, pandai menjaga penampilan. Apa para istri itu berpendapat kalo mereka sudah laku hingga untuk suami mereka justru penampilan mereka abaikan, lalu salah siapa?
Aku tidak seratus persen membenarkan tindakanku, tapi aku juga tak mau disalahkan seratus persen. Hidup itu quantum learning, segala sesuatunya ada sebab dan akibat.
“Mas Setyo akan disini lima hari kan?” aku menggelayut manja dipundaknya saat dia mengajakku berjalan-jalan menikmati malam.
“Aku pamitnya cuma tiga hari sayang” aku segera memisahkan diri darinya, berjalan mendahului. Ini tidak enaknya menjadi yang kedua, tak pernah diutamakan.
“Ayolah sayang, jangan marah dong” Mas Setyo memeluk pundakku, aku menampiknya.
“Sasmita, ayolah, aku janji akan segera balik lagi kesini” airmataku menetes. Aku memang yang kedua, tapi cintaku tak ada duanya buat pria yang umurnya lima belas tahun diatasku. 
Sepi, hari-hari yang kulalui selalu seperti ini jika Mas Setyo tak berkunjung. Sebulan berlalu, tapi tak ada kabar dari Mas Setyo, sms ku pun tak pernah dia balas. Padahal biasanya dua minggu dia sudah datang kembali.
Sebuah sms masuk, Mas Setyo.
- Ini Sasmita?
Aneh, kenapa dia menulis sms seperti itu? Akh pasti dia bercanda, awas ya akan kubalas dia nanti.
- Udah ah sayng g ush bcnd, kpn keSMG lg?
- Jd bnr ini sasmita? Bs kt ktemu?
- Iy syng, dimn?
- Café dekat simpng 5?
- Oh, tmpt bias kt ktemu? Baiklh
- Pkl 1 siang
- Oke, miss u beib.
Aneh kenapa tidak ada balasan lagi, apa dia mau ngasih surprise? Bukankah minggu depan adalah tepat setahun kami bertemu, aku nggak sabar ingin mengatakan kabar gembira ini.

Lima belas menit aku menunggu, aku sudah mempersiapkan segalanya, pasti ini akan menjadi kejutan yang menyenangkan.
“Sasmita?” seorang wanita cantik, umurnya kira-kira empat puluh, dengan blouse bunga dan celana panjang, rambutnya panjang diikat ekor kuda, riasannya tak terlalu mencolok, pas untuk wanita seusianya. Tubuhnya pun mengeluarkan harum yang sangat wangi namun tak membuat orang muak menciumnya, aku sadar jika yang aku temui adalah istri Mas Setyo. Aku mengangguk, wanita itu duduk dihadapanku, memanggil seoran waitrees dan memesan orange juice.
“Aku Rani, ibu dari lima anak dengan suamiku Setyo Darmowiseno” aku terdiam, terkejut? Jelas. Aku berusaha menguasai diri, inikah wanita yang suaminya selalu bersamaku setiap akhir minggu? Ternyata menghadapinya sangatlah menegangkan. Apa dia akan marah padaku, memakiku?
“Sudah lamakah hubungan kalian?”
“Hampir satu tahun” seorang waitrees menghampiri kami, memberikan pesanan Rani.
“Suamiku sepertinya sangat mencintaimu, hingga dia menyimpan sms cintanya” Rani menyodorkan handphone milik Mas Setyo. Tentunya dia tahu dari handphone ini.
“Tapi dia juga mencintai Mbak dan anak-anak”
“Tentu, dia tidak akan menelantarkan kami, tapi…” kalimatnya terhenti, aku melihat ada genangan airmata disudut matanya.
“Maaf mbak…”
“Kamu nggak perlu minta maaf, kita adalah korban, korban seorang pria yang begitu penuh cinta, bertanggung jawab, bijaksana dan baik hati.” Melihat airmatanya mengalir, aku merasa nggak tega, aku merasa bersalah karna menyakitinya.
“Dia ingin aku menjagamu, itulah pesan terakhirnya” pesan terakhir? Aku mengernyitkan kening.
“Iya Sas, suami kita meninggal dua minggu yang lalu, serangan jantung” aku tidak percaya, aku tidak percaya, ini pasti bohong, ini sebuah kebohongan.
“Mbak kumohon jangan berbohong padaku” Rani tertunduk.
“Mbak Rani boleh memakiku bahkan membunuhku tapi tolong jangan berbohong tentang sebuah kematian, apalagi kematian Mas Setyo”
“Aku juga ingin berbohong Sas, kau tahu betapa banyak pertanyaan diotakku yang perlu dia jawab tentang kalian, cinta kalian dan kenapa dia harus melakukan ini?”
“Tapi kukira dia membawa seluruh rahasianya di liang lahat”
“Mbak Rani…” Rani mendekat padaku, dia memelukku.
“Tidak Sas, aku tidak bohong, suami kita sudah meninggal” bisiknya ditelingaku. Airmataku menganak sungai dipundak Rani. Kami tergugu bersama, kami menumpahkan segala sedih dipundak kami.
***
“Ayah, kata Bunda Ayah sangat hebat, bisa buat gedung-gedung raksasa, aku juga mau ah kayak Ayah” Setyo, putraku kini berusia tujuh tahun, dia sangat mirip Ayahnya.
“Mas, aku janji akan menjaga putra kita, menjadikannya sebagai jagoan yang bertanggungjawab”
“Sasmita?” aku menoleh, Rani sudah berdiri dihadapanku. 
“Mbak Rani?” kami berpelukan, teringat saat itu, Mbak Rani dengan legowo menerimaku dirumahnya, meyakinkan putra-putrinya jika semua ini benar.
Namun aku menolaknya, aku nggak mau menyakiti Mbak Rani dengan mengingatkannya atas penkhianatan Mas Setyo. Aku memutuskan mandiri, selama setahun Mbak Rani membantuku, tapi kepindahanku ke kota lain membuat kami kehilangan kontak.
“Setyo, ini juga Ibumu, ayo cium tangannya” Setyo mencium punggung tangan Rani, dia memeluk dan mencium putra suaminya.
“Setyo ku” gumam Rani.
“Sas, ayo pulang, anak-anak sudah menikah, aku kesepian” ujarnya.
“Tapi mbak…”
“Kita besarkan Setyo bersama, kita jadikan dia jagoan kita” aku meneteskan airmata.
“Kita akan hidup bersama, mengenang Mas Setyo bersama, karna aku tahu, kita sangat mencintai Mas Setyo dan kita yakin Mas Setyo juga mencintai kita bertiga” Aku mengangguk.
Kami meninggalkan area pemakaman dengan perasaan baru. aku tahu ini semua berawal dari kesalahan, tapi aku yakin Tuhan telah mengkoreksinya hingga hal ini bisa menjadi sebuah jalan yang benar.

1 komentar:



fiesta fianisa mengatakan...

ujung ujungnya mati deeeng -___-

Posting Komentar

Mohon tinggalkan jejak-jejak cinta anda pada blog ini.
Makasih, Matursuwun!!!!!