Yang namanya kekasih


Baru saja aku ingin melepas penat setelah seharian berkutat dengan pekerjan kantor. Kujatuhkan tubuh diatas ranjang, sempat ku melirik meja kerja, ada beberapa naskah yang masih harus kukoreksi. Laptop aku nyalakan, meski sebentar lagi dalam keadaan stand by. Terngiang pembicaraan dengan Paklek diruang tamu sesaat tadi sebelum aku masuk kamar. Hampir tiga tahun aku tinggal bersama Paklek dan Bulek, pekerjaan membuatku tinggal bersama mereka.
Paklek dapat telpon dari Bapak diSemarang. Beliau ingin Paklek yang membicarakan ini denganku. Beberapa hal, aku lebih dekat dengan Paklek ketimbang orangtuaku. Bapak menjodohkanku dengan putra kawan karibnya di Boyolali. Paklek tahu gejolak hatiku. Beliau memberi kesempatan berpikir.
“Tidak ada jawaban yang sempurna selain hati,” aku beranjak dari dudukku, melangkahkan kaki. Paklek menghentikannya dengan sebuah kalimat yang mendesak hatiku.
“Allah memberi ilham lewat hati, jika membawanya ke nafsu, yang ada hanya dosa,” aku menoleh.
“Jika kamu membawanya ke syar’i, maka akan kau dapati berkah dan rahmat anakku,” aku tersenyum, menaiki tangga dan masuk kamar
Disinilah aku sekarang, terpekur dalam pesona keindahan sunyi bernama malam. Aku duduk didepan jendela kamar, menikmati bintang yang berdansa riang ditemani musik alam. Perjodohan?. Kupikir bukan hal yang buruk. Tapi jika mengingat apa yang terjadi pada orangtuaku, apakah perjodohan itu masih menjadi hal baik? Pernikahan orangtuaku adalah hasil perjodohan kakek. Aku tidak tahu apa yang ada dipikiran Bapak dan Ibu hingga menerima perjodohan ini?. Sekarang akulah yang menjadi korban atas ketidakbahagiaan mereka. Dengan alasan tidak cocok, Bapak memutuskan menikah kembali dan Ibu membiarkannya. Aku tidak tahu apa alasan mereka, tapi bisakah mereka memikirkan aku?. Bertahun-tahun aku ketakutan, takut untuk menikah, takut akan membuat anak-anakku sengsara karna ketidakharmonisan pernikahan kami. Aku tidak mau, anak-anakku merasakan kesepian sepertiku. Tangisku memecah sunyi.
Usiaku sudah tak muda lagi, mungkin orangtuaku khawatir aku akan terlambat menikah. Tapi apakah harus lewat acara bodoh ini?. Paklek memintaku untuk menemui calon yang dijodohkan Bapak. Didampingi Bulek dan Paklek, aku menemui lelaki bernama Enggar dirumah Semarang. Dadaku berdegup kencang, bukankah ini tak pernah kukehendaki? Kenapa juga harus deg-deggan? Sesekali aku mengusap peluh yang jatuh dileher dan membenahi letak jilbabku yang baru dibelikan Ibu.
Seorang lelaki muncul dari pintu beserta beberapa kerabat. Tak ada yang istimewa. Tampan , senyumnya juga menarik. Tapi pernikahan bukan hanya itu. Kami berkenalan singkat, sekedar nama dan pekerjaan. Sejauh ini, dia membuatku nyaman, bahkan saat keluarga meninggalkan kami berdua diruang tamu.
“Bukankah ini hal yang konyol? Kamu lelaki terpelajar bukan?!” ucapku ketus, dia hanya tersenyum, aku jadi keki melihat kelakuannya
“Jadi Reya ragu?” ucapnya lirih sambil menatapku. Risih rasanya.
“Ya iyalah!” aku melotot.
“Gimana kalo kita tidak bahagia? Tidak cocok? Terus cerai? Anak-anak kita?” cerocosku, lelaki itu tersenyum.
“Bukankah Allah tidak menyukai manusia yang ragu dengan apa yang belum dijalani?” kutatap Enggar, lelaki itu mengambil cangkir yang berisi kopi lalu meminumnya.
“Kita hanya menjalani apa yang digariskanNya, hanya perlu mengusahakan yang terbaik.” Tukasnya mantap. Terdengar suara adzan ashar dari masjid dekat rumah. Tiba-tiba aku merasa Enggarlah orangnya, Enggarlah yang aku yakini bisa menjadi Imam hidupku. Allah, inikah jawaban istikhorohku semalam? Rasanya tidak sabar mengatakan YA untuk perjodohan ini.

0 komentar:



Posting Komentar

Mohon tinggalkan jejak-jejak cinta anda pada blog ini.
Makasih, Matursuwun!!!!!