Sendratari sang Angsana


Hujan kembali berderai di hatiku. Untuk kesekian kalinya aku putus dengan pacar-pacarku. Aku selalu ingin belajar dari kesalahan masa laluku, namun justru semua itu bisa menimbulkan masalah baru. Contohnya Riski, dia terlalu kuberi kelonggaran untuk berteman dengan semua sahabatku, justru dia direbut sahabat karibku. Alam, dia kujaga dengan protektif malah dia minta putus, katanya aku terlalu posesive. Yang terakhir Danang, dia bilang aku dingin, nggak ada rasa cemburu pada diriku, dia kurang tertantang.
Hah…..
Ku jatuhkan tubuhku diatas ranjang, rasanya aku nggak bisa nangis lagi. Airmataku habis dan rasanya kesedihan ini telah berkerak, jadi nggak kerasa. Kalo gini terus, aku nggak mau pacaran. Pokoknya kalo ada yang naksir aku, dia harus langsung nikahi aku. Hp ku tiba-tiba berdering, tertulis nama Ika sahabatku disana.
“Assalamu….”
“Rinda, tadi aku lihat Danang ama cewek di teater lima” dia nyerocos saja, bahkan aku tak sempat salam.
“Udah putus” jawabku lemas. Aku nggak mau ngebahas sebenarnya, bukan karna sakit hati, tapi lebih ke malas dengerin komentar Ika.
“Aduh Rin, kamu tu maunya cowok yang bagaimana? Lobang hidung empat? Atau mata nya warnanya hitam semua” apaan sih si Ika ini, koment yang nggak perlu.
Cekrekkk…..
Ku reject HP ku. Lama-lama malas juga dengerin ocehan si Ika. Dia tu temen aku, tapi kok sikapnya kayak musuhin aku.
****************
Meski aku mencoba biasa, tapi rasanya sakit banget ngeliat Danang jalan dengan cewek lain. Jujur, rasa sayang itu masih ada meski samar, atau justru ini perasaan sakit hati karna Danang mampu mendapat gantiku dengan cepat
Hah…..
Kurebahkan tubuhku dibangku taman kampus. Pohon Angsana merimbuniku. Seandainya hatiku setenang angin yang bersemilir menerpaku. Sejenak kupejamkan mataku, hah, andai hatiku selalu damai seperti ini.
“Mau cola?” ku buka mataku, Afif berdiri didepanku dan menyodorkanku kaleng cola. Dia duduk disampingku, aku hanya diam. Afif melihatku kemudian mereguk kembali cola yang ada ditangannya.
“Putus lagi?” kenapa pertanyaan itu harus muncul.
“Kamu emang nggak cocok pacaran ama cowok, cocoknya ya cuma berteman” apa sih maksud ni anak. Kalo bukan kamu pacarnya Sita dan sahabatku, aku udah gampar ni anak.
“Rin, kok diam, biasanya kamu cerewet” dia menatapku.
OPSSS…..
Rasa apa ini? Hatiku berdesir? Tatapan Afif aneh, nggak seperti biasanya. Ah…. Aku nggak boleh GR, dia kan udah pacaran ama Sita. Lho, aku kok berpikir macam-macam, aku kan nggak ada perasaan ama ni anak.
“Jalan yuk?”
“Sita?”
“Aku lagi suntuk, aku nggak bisa nyantai ama dia” pasti mereka ada masalah. Afif…Afif, kapan kamu mau ngertiin dan nrima apa adanya si Sita?.
“Yuk…” kami beranjak. Afif mengambil sepeda motor yang di parkir di halaman belakang kampus.
Ketika aku hampir naik di boncengan motor, Sita berlari ke arah kami. Aku mengurungkan niatku membonceng Afif.
Ada apa Rin?”
“Sita” Afif menoleh ke arah Sita.
“Afif…” Sita mendekat pada kami, aku agak menjauh dari mereka.
“Maaf ya Rin, aku pinjam sahabatmu ini” aku tersenyum
“Aku tinggal dulu ya” aku pergi dari mereka. Entah ada apa, hatiku sakit saat Sita datang dan mencegah kami pergi. Ini salah, aku nggak boleh memendam perasaan ini. Afif sahabatku, hanya sahabat, aku nggak boleh punya perasaan memiliki.
***************
Udah beberapa hari aku nggak ngampus. Aku mau menata hatiku dulu, perasaanku pada Afif mungkin akibat rasa tertekanku setelah putus dengan Danang. Ku teliti satu persatu perasaanku, terutama pada semua sahabat cowokku. Nihil, perasaanku biasa pada semua, tapi pada Afif, ada getaran aneh disana.
Hah…..
Kututup mukaku dengan bantal. Nggak mungkin aku jatuh cinta pada Afif. Masak aku harus jadi pecundang. Afif dan Sita kan aku yang menjodohkan. Suara pintu kamar diketuk.
“Rin…Rinda. Ada Afif dibawah Rin” suara ibu membuatku terduduk. Afif? Aku beranjak dari tempat tidurku, kuambil jilbab yang bersandar di tepi ranjang.
Aku beranjak dari tempat tidur. Kuturuni tangga dan kudapati Afif, tidak seperti biasanya perasaanku tidak karuan.
“Hai Fif…” sapaku, aku duduk dihadapannya.
Ada apa?” ujarku datar.
“Eh, kamu harusnya tu ngucapin terimakasih, ada teman yang mau berkunjung kerumahmu” aku tersenyum. Andai bisa minta, aku nggak bakal minta kamu kerumahku.
“Gimana Sita Fif?” sakit…
“Kadang kalian seperti dua sisi mata uang” kalian? Aku dan Sita maksudnya? Kok? Kayaknya aku salah pertanyaan deh.
“Sita, aku suka dia karna dia orangnya nggak slengekan, dia disiplin dan cerdas. Tapi kadang aku juga perlu dimanja” sejenak kami terdiam. Aku tertunduk, hatiku nggak karuan.
“Aku bisa menjadi anak kecil di hadapanmu, saat bersamamu aku bisa menjadi diri sendiri, dan kamu bisa mengendalikan aku” ku angakat kepalaku. Apa ini ungkapan perasaannya.
“Tapi kamu terlena dengan sifat anak-anakmu, kamu terlalu santai tidak dewasa”
“Benarkah aku tidak dewasa? Bukannya kamu!” Afif menatapku dengan penuh pertanyaan.
“Andai aku tidak dewasa, aku sudah membabi butakan perasaanku padamu. Tapi justru kamu yang menekanku dengan perasaanmu saat ini. Fif, aku juga tersiksa dengan perasaanku”
“Perasaanmu? Rin, apa perasaanmu sama denganku? ” aku mengangguk.
“Sejak kapan?”
“Aku tidak tahu, tiba-tiba perasaan ini ada”
“Rin….” Afif mendekatiku dan menggenggam tanganku, aku menariknya.
“Tidak Fif, ada Sita, aku mundur” aku berdiri dan berniat pergi.
“Tunggu Rin, kumohon” aku tidak dapat menahan air mataku, aku menjauh pergi. Afif menghadangku, aku berusaha mendorongnya tapi dia memegang lenganku.
“Rin kumohon, aku juga tersiksa dengan perasaanku ini, aku harus bagaimana?”
“Fif, aku juga akan bertanya hal yang sama, aku harus bagaimana? Aku nggak mau sakit hati lagi” isakku, aku terduduk di lantai, kakiku lemas. Afif mengajakku kembali duduk di sofa.
“Fif, sita….”
“Aku tahu Rin, aku nggak bisa nyakitin dia, dia baik nggak pantas aku nyakitin dia”
“Aku minta maaf Fif” Afif menggenggam tanganku, aku membalasnya. Allah, mungkin ini salah, tapi biarkan kami merasakan cinta ini sejenak.
******************
Sepuluh tahun sudah sejak kelulusanku. Kupandangi kampusku, hah…. Lama juga ya. Semua belum berubah, bangku taman yang sering kududuki, pohon angsana itu pun semakin besar. Kususuri ruang-ruang kelas.
“Rinda?” aku membalikkan badan, suara itu tidak asing.
“Afif?” aku tidak percaya kalo yang dihadapanku Afif. Afif yang dulu nggak pernah rapi, sekarang dia begitu tampan dengan setelan jas.
Kami mengenang semuanya, kami susuri setiap sudut kampus. Afif ternyata menjadi dosen dikampus ini, cita-citanya menjadi dosen ternyata terkabul. Sesekali kami tertawa saat mengingat kejahilan-kejahilan di masa muda kami.
“Kamu masih ingat Rin, di kantin itu kita sering buat keributan?”
“Ya, kita pura-pura bertengkar, sampai semua orang yang berada dikantin memperhatikan kita” tawa kami berderai. Hah…. Masa lalu, ya masa lalu, namun rasa itu masih mencoba menelisik di hatiku. Ya Allah kuatkan hatiku, aku hanya ingin mencintai suamiku. Aku bukan Rinda yang dulu, Afif adalah masa lalu seperti halnya kenangan dikantin itu.
“Kamu udah nikah Rin?” aku mengangguk dan kuperlihatkan cincin yang tersemat dijariku.
“Sorry aku nggak ngundang, saat itu aku ada di Surabaya” dia tersenyum.
“Aku bahagia Fif, suamiku adalah suami yang baik” ceritaku, Afif kembali tersenyum, entah apa arti senyumnya.
“Aku dengar kamu sudah punya anak?” dia mengangguk
“Anakku lelaki” ujarnya
“Subhanallah, anakku perempuan” kami sama-sama tersenyum.
“Sorry ya Fif, saat pernikahanmu dengan Sita aku nggak datang, aku ikut suami tugas ke Malaysia” dia kembali mengangguk. Sakit, masih ada rasa sakit dihatiku.
“Rin, aku tahu mungkin ini salah tapi….” Dia terdiam sejenak.
“Aku masih memikirkanmu hingga tadi saat kita ketemu, tapi saat mendengar ceritamu tentang suami mu, aku sadar, kamu sudah bahagia dan aku tidak boleh mengacaukan perasaanmu” aku menunduk, Allah perasaannya sama dengan perasaanku.
“Aku juga Fif” Afif tersentak.
“Perasaanku masih ada, tapi…..”
“Tapi kita nggak mungkin menyakiti orang-orang yang sudah membuat kita bahagia, iya kan?” Afif mengungkapkan apa yang kupendam dalam hatiku.
“Rin, berjanjilah kamu akan bahagia” airmataku jatuh saat mendengar perkataan Afif.
“Kamu juga harus janji, kamu juga harus bahagia” Allah, mungkin ini yang terbaik.
Aku berjalan menuju gerbang kampus, bunga angsana berguguran membentuk permadani kuning yang cantik. Meski sakit tapi aku bahagia karna sahabatku pun berbahagia. Allah, inilah jalanku, terimakasih.  

0 komentar:



Posting Komentar

Mohon tinggalkan jejak-jejak cinta anda pada blog ini.
Makasih, Matursuwun!!!!!